IBADAT KELILING OMK

untuk yang kesekian kalinya, digelr kegiatan ibadat keliling yang dilaksanakan di rumah kediaman salah satu Orang Muda Katholik yang berdomisili di Paroki Stellamaris Siantan


BAZAAR 6-7 DESEMBER 2008


Bazaar natal yang di adakan di halaman paroki stellamaris siantan yang diselenggarakan selama dua hari yakni hari sabtu dan minggu, tepatnya tanggal 6 desenber 2008 dan 7 desember 2008 berlangsung dengan sangat meriah. Di meriahkan oleh kehadiran berbagai stand, mulai dari stand dari stand makanan serta minuman kesehatan, stand-stand elektronik, stand meubel, stand kendaraan bermotor dan jet matic, serta stand-stand permainan yang senantiasa memanjakan para pengunjung yang berkunjung disana.


Salah satunya stand yang paling sering dikunjungi adalah stand yang terletak di dekat parkiran kendaraan bermotor milik pengunjung setempat. Nama stand tersebut adalah STELLA CAFÉ. Salah satu stand yang menjual beraneka jenis makanan dan minuman cepat saji dan tidak mengeyampingkan rasa dan kualitas masakan, steril dan aman dikonsumsi.


Ini merupakan sebagian dari acara tahunan Paroki Stellamaris yang di gelar tiap tahunnya demi menyambut Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Tidak lupa pula untuk para orang yang tidak mampu, di bagikan beberapa sembako atau paket yang sudah disediakan oleh panitia bazaar. Rayakanlah Natal dan Tahun Baru dengan suka cita penuh syukur dan berbagi buat sesama.

LEGENDA SANTA CLAUSE

Penulis artikel: John W. Cowart

"Ayah, bangun! Seseorang memanjat terali jendela kita!" Sang ayah yang kuatir terjaga. Terhuyung-huyung, masih setengah sadar, menghampiri kamar tidur putrinya dan memandang ke luar. Seseorang sedang memanjat terali dengan diam-diam.
"Apa-apaan ini? Sepertinya tidak cukup kesusahan yang kuhadapi," kata sang ayah. "Akan kutangkap banjingan itu." Diambilnya sebatang kayu api yang besar panjang di sisi perapian dan merayap ke luar.

Ayah yang dalam kesusahan ini tidak dapat tidur semalaman. Ketika ia berbaring, pikirannya tetap berputar dari satu problem ke problem lainnya. Tiga orang anak perempuan yang sudah layak menikah dan tidak ada mas kawin yang dapat disediakannya walau hanya untuk satu calon menantu saja. Kemiskinan telah menguras kekuatannya. Ia telah memutuskan untuk menjual gadis-gadisnya ke tempat pelacuran lokal -- tampaknya itu jalan keluar satu-satunya. Namun ia tidak tentram dengan keputusan itu, dan tidur mengajaknya lari dari persoalan itu. Sekarang ada lagi.

Ketika ia membuka pintu, didengarnya suara berdebuk. Pengacau itu melemparkan sesuatu ke dalam kamar putri-putrinya dan sekarang menuruni terali.
Ayah yang marah ini mengejar pengacau itu. Sekejab mereka terjatuh, terengah-engah, berhadapan dengan dinding batu. Sang ayah juga kehabisan napas untuk mengangkat gadanya, melihat pengacau itu ternyata seorang pemuda yang kehabisan napas.
Putri yang tertua lari menghampiri. "Lihat ayah!" ia menjelaskan, "lihat apa yang dilemparkannya ke jendela kita." Tangannya memegang sebuah tas kulit penuh dengan uang emas.

"Apa arti semua ini?" tuntut sang ayah.
Tawanannya menjelaskan bahwa ia seorang Kristen dan orang tuanya baru saja meninggal dengan mewariskan kekayaan yang besar. "Tuhan mengatakan," pemuda ini menjelaskan, "bahwa kita harus menjual harta kita dan memberikannya kepada orang miskin, kemudian mengikutNya. Saya ingin mengikut Yesus, maka ketika saya mengetahui kesulitanmu dan rencanamu ... apa yang dapat saya perbuat? Jika seseorang memiliki segala harta dunia ini dan melihat saudaranya membutuhkan, kemudian mengeraskan hati terhadap saudaranya itu dan tidak memberikannya, bagaimana kasih Allah bisa tinggal dalam orang ini?"

Ayah yang bingung, tetap mencurigai adanya suatu permainan, bertanya, "Mengapa engkau menyelinap ke rumah kami pada malam hari? Apa maumu? Siapa namamu?"
"Nama saya Nicholas. Saya datang secara sembunyi karena Yesus memerintahkan ketika engkau memberi kepada orang miskin dengan tangan kananmu, tangan kirimu tidak perlu tahu. Simpan pemberianmu sebagai rahasia. Simpanlah uang itu, tetapi saya mohon sesuatu sebagai imbalannya. Jangan beritahu siapapun mengenai hal ini. Jaga rahasia ini." Ayah itu berjanji dan untuk bertahun-tahun tidak menceritakan bagaimana ia mendapatkan mas kawin untuk gadis-gadisnya.

Cerita ini, dikisahkan oleh Metaphrastes dalam tahun 912 M, menunjukkan satu alasan mengapa St. Nicholas, seorang yang benar-benar ada dalam sejarah, yang menjadi dasar dari legenda mengenai Santa Claus, adalah seorang yang paling terkenal di seluruh dunia.

KUNJUNGAN ST. NICK
Nicholas dilahirkan pada abad ketiga di Patras. Sebuah kota di Asia Kecil. Orang tuanya yang kaya raya adalah orang-orang Kristen yang saleh. Setelah mereka meninggal, ia menggunakan warisannya untuk menolong orang miskin dan memasuki Biara Sion Kudus, dekat kota Myra untuk mendapatkan pendidikan.

Alkisah ketika menjadi dewasa, Nicholas membuat perjalanan perubahan hidup ke Tanah Suci. Di Betlehem ia melihat tempat kelahiran Kristus. Ia berdiri di Bukit Zaitun di mana Kristus mengajar. Dan ia berdoa di kubur kosong, tempat kebangkitan Kristus. Perjalanan ini meneguhkan pikirannya mengenai yang telah dipelajari dalam Alkitab -- bahwa Kristus sesungguhnya Allah beserta kita. Keyakinan teguh ini membentuk karir masa depannya.

Ketika ia berlayar pulang, kapalnya memasuki kancah badai. Nicholas menolong para kelasi mengikat layar dan menguasai kayuh. Kelasi-kelasi itu mempercayakan perjuangan mereka di tangan Nicholas; dan ia menyerahkan keselamatannya kepada Allah. Ia bernasar untuk pergi ke gereja mengucap syukur setibanya kapal itu di daratan.

Ketika Nicholas melangsungkan perjalanannya, bishop di Myra meninggal dunia. Pemimpin gereja berdebat tentang penggantinya. Setelah melalui perdebatan panjang, seseorang menyarankan, "Kita tunggu keputusan Allah; orang yang pertama datang melalui pintu gereja besok pagi akan menjadi bishop yang baru."
Kapal Nicholas terdampar menjelang fajar. Secepatnya ia pergi untuk mengucap syukur karena dibebaskan dari badai. Para pemimpin gereja menyambutnya di pintu gerbang dengan topi dan tongkat jabatan bishop. Maka ia menjadi bishop termuda di dalam sejarah.

KONFLIK DENGAN PEMERINTAH
Tidak lama setelah itu, Bishop Nicholas menghadapi konflik dengan otoritas pemerintah. Suatu bencana kelaparan melanda Myra. Hasil panen layu dan kering di ladang. Tidak ada makanan di manapun juga. Jemaat mencari Nicholas untuk melepaskan mereka dari kelaparan. Eustathios, gubernur propinsi, menyita beberapa muatan kapal berisi gandum di pelabuhan Andriaki. Pejabat yang korup merencanakan untuk menahan gandum itu sampai tawaran tertinggi atas gandum itu tercapai. Nicholas meyingkapkan timbunan gandum itu dan mempermalukannya sehingga melepaskan kapal-kapal itu.

Hubungan Nicholas dengan Eustathios lebih buruk lagi ketika ia mempelajari proposal hukuman mati dari tiga tawanan politik. Nicholas mendesak untuk kebebasan ketiga orang yang tidak bersalah itu. "Terlambat!" seru Eustathios, "mereka sedang menjalani pemancungan sekarang." Nicholas berlari ke alun-alun di mana hukuman mati itu dilaksanakan. Tawanan pertama sudah siap dihukum mati dengan lehernya di tempat pemancung dan kepala di atas keranjang. Pelaksana mengayunkan tangan. Nicholas merebut pedang yang sedang terayun turun dari tangan algojo. Ia memotong ikatan tangan para tawanan dan membebaskan mereka. Masyarakat menyatakan jaminan keselamatan selanjutnya bagi orang-orang ini. Gubernur mundur -- untuk sementara waktu.

PENGANIYAAN YANG TERUS MENERUS
Pada 23 Februari 303 M, kaisar Diocletian mengeluarkan satu peraturan yang menjadi awal penganiayaan yang paling sistematis dan panjang atas gereja Kristen yang pernah terjadi.

Penganiayaan Diocletian ditandai dengan serangan pertama yang terorganisir atas Alkitab. Karena keputusan ini menuntut bahwa orang Kristen harus menyerahkan kitab suci mereka untuk dibakar. Menolak berarti mati. Seorang yang setia (seperti Felix, bishop Thibiuca, yang mengatakan kepada prajurit yang menangkapnya, "Lebih baik aku dibakar daripada Alkitab.") berdalih untuk berbagai alasan, seperti menggantinya sebagai kitab tatabahasa, kitab mengenai pengobatan, koleksi khotbah dan buku-buku agama lain, untuk melindungi Alkitab.

Eusebius, seorang saksi mata mengatakan, "Kata-kata tidak dapat menjelaskan penderitaan mengenaskan yang ditanggung oleh para martir ... mereka dicabik dari kepala sampai kaki dengan pecahan beling seperti cakar, sampai mati melepaskan mereka. Wanita-wanita diikat sebelah kakinya dan dipacang tinggi ke udara dengan kepala di bawah, tubuh mereka telanjang tanpa secarik pakaian pun ... aku berada di tempat itu dan melihat sendiri mereka dihukum mati ... pesta gila- gilaan itu berlangsung lama, pisau pembunuh itu menjadi muntul dan rusak sendiri. Pelaksana hukuman mati itu sendiri kehabisan nafas dan bergantian melaksanakan tugas.
Secara relatif orang Kristen mempunyai kesempatan untuk mendramatisir iman mereka dengan menyitir kata-kata terakhir di hadapan penonton di arena. Hampir semua ketakutan, kuatir, merasa tidak pasti, tersembunyi, tertawan dan menderita, berlangsung dari tahun ke tahun. Anak-anak Kristen bertumbuh dengan tidak mengenal kondisi lain dalam hidupnya.

Bishop Nicholas mengambil bagian dalam hal ini. Ia tertangkap di awal penganiayaan dan ditawan. Mereka memukulinya. Mereka mencap kulitnya. Mereka menggunakan tang-tang besi untuk menjepit berbagai bagian tubuh mereka. Kemudian dibiarkan sendiri di selnya sampai cukup kuat untuk mulai disiksa lagi. Penganiayaan berlangsung bertahun-tahun. Tetapi Nicholas tidak menyangkal bahwa Yesus adalah Allah dari segala allah.
Bidat yang berbahaya

Kaisar kafir telah meninggal. Konstantin naik takhta dan menghentikan penganiayaan. Nicholas bertahan menghadapi penderitaan, tetapi sekarang ia diperhadapkan dengan bahaya ... yang lebih besar, yang merusak Kekristenan secara perlahan-lahan.
Arius, pengkhotbah terkenal dari Alexandria, mulai mengajarkan bahwa Kristus lebih rendah dari Allah. Ia mengajarkan bahwa Yesus bukan Allah menjadi manusia, tetapi sebagai roh ciptaan yang menjadi pengantara yang didagingkan -- bukan Allah tetapi juga bukan manusia saja.

Arius menyebarluaskan idenya dengan memasukkan dalam musik peminum yang terkenal di kalangan penyembah berhala. Melodinya begitu menarik sehingga sebentar saja semua orang bersiul mengikutinya di jalan dan pasar. "Situasi menjadi skandal," komentar Eusebius, "sehingga dalam gedung kesenian orang yang tidak percaya, pengajaran yang seharusnya dihormati mengenai Allah diekspos sehingga sangat aneh dan memalukan.
Orang percaya yang setia berjuang melawan penganiayaan, seperti Nicholas, berkhotbah dan menjelaskan kepada orang-orang mengenai Yesus, menunjukkan ayat Alkitab seperti Kolose 2:9: "Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan."; Yohanes 14:9: "Yesus berkata: "Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa."; Yohanes 1:1,14: "Pada mulanya adalah Firman: Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah ... Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita ... "; Ibrani 1:3: "Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah."

Semua ini tidak berguna. Arianisme menarik pikiran yang dirasionalisasikan bahwa kalau mereka tidak dapat mengerti Tritunggal, maka tidak ada Tritunggal.

KONSILI KONTROVERSIAL
Konstantin membentuk sebuah konsili dari pemimpin-pemimpin gereja di Nicean untuk mendiskusikan pengajaran Arius dan hal-hal lain yang memecahbelahkan gereja.
Mereka yang menghadiri konsili Nicean telah berjuang atas penganiayaan Diocletian. Sebagian dari mereka cacat kehilangan lengan. Sebagian lagi lumpuh (Tawanan dibuat cacat agar tidak dapat melarikan diri). Banyak yang datang dengan rongga mata kosong karena mata mereka dicukil.

Legenda mencatat bahwa dalam kesempatan tampil dalam konsili Arius mulai menyanyikan salah satu dari lagu-lagunya yang terkenal. Beberapa bishop langsung keluar dari tempat pertemuan. Yang lainnya menutup telinga. Nicholaus berjalan perlahan-lahan ke tengah, tempat Arius bernyanyi dan meninju mulutnya.

Bishop yang kaget bersimpati kepada Nicholaus, tetapi tidak dapat menyetujui tindakannya. Biar bagaimanapun, Kristus, yang dipertahankan Nicholaus, mengajarkan pengikut-pengikutNya untuk mengasihi musuh- musuh mereka dan menjadi umat yang damai. Mereka menurunkan Nicholaus dari jabatan bishop (kemudian jabatan ini dikembalikan kepadanya) dan mengusir Arius. Sebelum konsili berakhir, mereka menuliskan Pengakuan Iman Nicean yang menyatakan apa yang harus dipercaya orang Kristen mengenai Yesus.

Nicholaus menghabiskan sisa hidupnya di Myra untuk memperhatikan yang sakit, merawat yatim piatu, melindungi orang miskin dari pemeras- pemeras dan mempertahankan hak-hak legal orang Yahudi. Ia sering bermain dengan anak-anak dan memalukan martabat kesementaraannya dengan mengijinkan anak-anak berandal jalanan dengan mengijinkan mereka memakai topi bishop. Ia meninggal tahun 343 M dan dijadikan orang suci.
Kemurahan hati dan kasihnya kepada anak-anak terus berkembang sehingga tidak hilang dalam legenda St. Nick -- Santa Claus.
Artikel ini diterjemahkan dari majalah HIS edisi Desember 1989.

ASAL MULA POHON NATAL

Kebiasaan memasang pohon Natal sebagai dekorasi dimulai dari Jerman. Pemasangan pohon Natal yang umumnya dari pohon cemara, atau mengadaptasi bentuk pohon cemara, itu dimulai pada abad ke-16. Saat penduduk Jerman menyebar ke berbagai wilayah termasuk Amerika, mereka pun kerap memasang cemara yang tergolong pohon evergreen untuk dekorasi Natal di dalam rumah. Dari catatan yang ada, orang Jerman di Pennsylvania Amerika Serikat memajang pohon Natal untuk pertama kalinya pada tahun 1830-an.

Pohon Natal bukanlah suatu keharusan di gereja maupun dirumah sebab ini hanya merupakan simbol agar kehidupan rohani kita selalu bertumbuh dan menjadi saksi yang indah bagi orang lain "evergreen". Pohon Natal (cemara) ini juga melambangkan "hidup kekal", sebab pada umumnya di musim salju hampir semua pohon rontok daunnya, kecuali pohon cemara selalu hijau daunnya. Pemasangan pohon cemara, baik asli maupun yang terbuat dari plastik, di tengah kota atau di tempat-tempat umum pun menjadi pemandangan biasa menjelang Natal. Salah satu yang terbesar adalah pohon yang ada di Rockefeller Center di 5th Avenue New York AS.

Ada beberapa legenda/cerita yang beredar di kalangan orang Kristen sendiri mengenai asal mula pohon natal.

PENGALAMAN "SUPRANATURAL" SANTO BONIFACIUS
Menurut sebuah legenda, ada seorang rohaniawan Inggris bernama Santo Bonifacius yang memimpin beberapa gereja di Jerman dan Perancis. Suatu hari dalam perjalanannya dia bertemu dengan sekelompok orang yang akan mempersembahkan seorang anak kepada dewa Thor di sebuah pohon oak. Untuk menghentikan perbuatan jahat mereka, secara ajaib St. Boniface merobohkan pohon oak tersebut dengan pukulan tangannya. Setelah kejadian yang menakjubkan tersebut di tempat pohon oak yang roboh tumbuhlah sebuah pohon cemara.


MARTIN LUTHER DAN POHON CEMARANYA
Cerita lain mengisahkan kejadian saat Martin Luther, tokoh Reformasi Gereja, sedang berjalan-jalan di hutan pada suatu malam. Terkesan dengan keindahan gemerlap jutaan bintang di angkasa yang sinarnya menembus cabang-cabang pohon cemara di hutan, Martin Luther menebang sebuah pohon cemara kecil dan membawanya pulang pada keluarganya di rumah. Untuk menciptakan gemerlap bintang seperti yang dilihatnya di hutan, Martin Luther memasang lilin-lilin pada tiap cabang pohon cemara tersebut.


KONTROVERSI KRISTEN TENTANG POHON CEMARA
Terlepas dari kebenaran kisah-kisah di atas, hingga hari ini pemasangan Pohon Natal masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Kristen. Bagi orang-orang yang tidak berkenan dengan pohon Natal, mengisahkan bahwa pada jaman dahulu bangsa Romawi menggunakan pohon cemara untuk perayaan Saturnalia, mereka menghiasinya dengan hiasan-hiasan kecil dan topeng-topeng kecil, karena pada tgl 25 Desember ini adalah hari kelahiran dewa matahari, Mithras, yang asal mulanya dari Dewa Matahari Iran yang kemudian dipuja di Roma. Demikian pula hari Minggu adalah hari untuk menyembah dewa matahari sesuai dari arti kata Zondag, Sunday atau Sonntag. Perlu diketahui juga bahwa dewa-dewa matahari lainnya, seperti Osiris, dewa matahari orang Mesir, dilahirkan pada tanggal 27 Desember. Demikian pula Dewa matahari Horus dan Apollo lahir pada tanggal 28 Desember.

Maka dari itu ada aliran-aliran gereja tertentu yang mengharamkan tradisi pohon Natal, sebab mereka menganggap ini sebagai pemujaan dewa matahari. Pemasangan pohon itu dianggap sebagai bentuk penyembahan berhala. Reaksi penolakan itu bahkan awalnya sempat diwarnai keputusan pemerintah Jerman untuk mendenda siapa pun yang memasang pohon cemara sebagai pohon Natal.

Hal itu mulai berubah, saat gambar Ratu Victoria dari Inggris, Pangeran Albert dari Jerman, dan anak-anaknya dengan latar pohon cemara, diilustrasikan di London News. Karena sosok Victoria yang sangat populer, pemuatan gambar itu di media massa pun membuat pohon cemara menjadi pilihan lazim sebagai pohon Natal.


TRADISI UMAT KRISTIANI
Setelah masyarakat AS mengikuti jejak Inggris menggunakan pohon cemara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, industri pun semakin berkembang dan merambah ke berbagai negara. Termasuk industri berbagai hiasan pohon Natal seperti bola-bola yang digantung, pernak-pernik Santa Claus, tinsel (semacam tali berumbai yang dililitkan ke pohon), dan lainnya.

Karena penggunaan pohon cemara merupakan tradisi Eropa, ekspresi sukacita yang dilambangkan dengan berbagai dekorasi itu berbeda-beda di setiap negara. Indonesia dan Filipina menjadi negara yang sangat terpengaruh tradisi Eropa itu sampai akhirnya para umat Kristen membeli pohon buatan tapi yang penting berbentuk cemara.

Di Afrika Selatan keberadaan pohon Natal bukanlah sesuatu yang umum. Sementara masyarakat India, lebih memilih pohon mangga dan pohon pisang.

HARI ORANG MUDA KATHOLIK 3

Setelah di gelar di dua tempat, yaitu Tirta Ria pada peringatan Hari Orang Muda Katholik pertama dan di Sarikan Toho, Kabupaten Landak pada Hari Orang Muda Katholik kedua, Maka kegiatan yang berlangsung setiap bulan Oktober ini kembali di gelar di Kabupaten Kubu Raya, tepatnya di kawasan Rumah Retret Constantine, Ambawang. Kegiatan kali ini di ikuti seluruh Orang Muda Katholik yang berdomisili di Dekanat Kota Pontianak dengan melibatkan 11 paroki. Acara yang di gelar selama satu pekan (enam hari) ini berlangsung dengan sukses. Konteks yang di usung kali ini adalah sistem kemah ala orang muda.

Eksistensi orang muda dibuktikan dengan keterlibatan mereka di setiap sesi dan dialog. Kegiatan tersebut antara lain: Misa Pembukaan, Lomba Mazmur, Lomba Band Rohani, pentas seni, Majalah Dinding dengan konteks bersahabat dengan lingkungan, Out Bound, Napak Tilas Salib, Doa Malam Bersama, dan di tutup dengan Misa Puncak di Hari Terakhir.

BERMULANYA ORGANISASI GEREJA KATOLIK DI KALIMANTAN

Pada awal abad 20 Vikaris Apostolik Jakarta meminta tenaga kepada kelompok-kelompok religius di Negeri Belanda. Hasilnya ialah para pastor Ordo Kapusin Propinsi Belanda menerima tanggung jawab atas Prefektur Apostolik Borneo (Kalimantan) yang baru saja didirikan pada tanggal 11 Februari 1905.Sejak saat itulah para misionaris mulai berdatangan secara teratur ke pelbagai tempat di Kalimantan.

Pada tanggal 30 November 1905 para misionaris pertama tiba di Singkawang. Tahun 1906 Sejiram mendapat imam lagi, dan tahun 1908 dibuka sebuah stasi baru di Laham, di pinggir sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Tahun 1909 Pontianak menjadi tempat kediaman Prefek Apostolik Mgr. Pacifikus Bos, dan dengan demikian menjadi pusat segala kegiatan misi di pulau Kalimantan. Tanggal 13 Maret 1918 menjadi Vikariat Apostolik Kalimantan.

Karena daerah kerjanya sangat luas, hubungan serba sulit , dan jumlah tenaga sangat terbatas, maka tidak mungkin dapat diberikan pelayanan yang seideal-idealnya, maka Mgr. Pacifikus Bos mencari tenaga-tenaga dari Kongregasi lain untuk membantu di Kalimantan.

Hal itu tercapai pada tahun 1926, ketika para anggota Kongregasi MSF (Misi Keluarga Kudus) mengambil alih Kalimantan bagian Selatan dan Timur, yang kemudian pada tanggal 21 Mei 1938 menjadi Prefektur Apostolik Banjarmasin. Pada tanggal yang sama Pontianak menjadi Vikariat Apostolik. Dengan demikian pastor Kapusin dapat memusatkan perhatiannya di Kalimantan Barat saja.

Tanggal 10 Maret 1949 Prefektur Apostolik Banjarmasin meningkat menjadi Vikariat Apostolik, kemudian tanggal 21 Februari 1955 dibagi menjadi Vikariat Apostolik Banjarmasin dan Vikariat Apostolik Samarinda.

Meskipun daerah kerja semakin kecil, namun toh cukup luas untuk para pastor Kapusin. Maka diperlukan tenaga-tenaga dari Kongregasi lain lagi. Kali ini dari Serikat Maria Montfortan (SMM). Tahun 1939 para pastor Montfortan yang pertama tiba di Kalimantan Barat dan mengambil alih bagian timur Kalimantan Barat yang terdiri dari Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu.
Pada tanggal 11 Maret 1948 daerah ini menjadi Prefektur Apostolik Sintang dan pada tanggal 23 April 1956 ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik.

Sementara itu perkembangan gereja semakin pesat, sedangkan pertambahan jumlah misionaris tidak terlalu banyak, maka bagian selatan Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Ketapang belum dapat dilayani semaksimal mungkin. Baru sesudah perang dunia II berakhir, ketika para imam Pasionis datang membantu, daerah Ketapang mendapat perhatian penuh.

Ternyata perkembangan gereja di situ cukup memberi harapan, sehingga pada tanggal 14 Januari 1955 Paus Pius XII memisahkannya dari Vikariat Apostolik Pontianak dan menjadikannya Prefektur Apostolik Ketapang.
Atas permintaan Roma maka daerah Sanggau, Sekadau dan Meliau, yang letaknya di sebelah Selatan Sungai Kapuas, digabungkan dengan wilayah Prefektur baru itu.

Prefektur Apostolik Ketapang ternyata masih terlalu luas untuk para pastor Pasionis Belanda. Maka pada tahun 1960 para Pasionis Italia datang membantu, sebagai daerah kerja diserahi daerah Sekadau dan daerah sebelah selatan Sungai Kapuas.
Pada pendirian Hierarki Indonesia tanggal 3 Januari 1961, Kalimantan menjadi satu Propinsi Gerejani yang terdiri atas: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang , Ketapang, Banjarmasin dan Samarinda.

Pada tanggal 24 Agustus 1968 Wilayah Sekadau menjadi Prefektur Apostolik Sekadau.

Karena banyak umat dan luasnya Keuskupan Agung Pontianak, maka pada tanggal 10 Juli 1982 bagian Kabupaten Sanggau yang masuk Keuskupan Agung Pontianak digabungkan dengan Prefektur Apostolik Sekadau, dan dilebur menjadi menjadi Keuskupan Sanggau, yang meliputi seluruh daerah Kabupaten Sanggau.

Dengan demikian dari tahun 1905 sampai dengan 1984 Prefektur Apostolik Kalimantan (Borneo) sudah berkembang menjadi enam daerah Gerejani, yakni: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Samarinda, dan Keuskupan Sanggau.

Jumlah umat Katolik di Kalimantan Barat pada tahun 1971 menurut hasil sensus penduduk tahun itu sebesar 277.456 orang. Pada tahun 1979 jumlah itu sudah meningkat menjadi 413.228 orang. Ini berarti dalam jangka waktu delapan tahun jumlah umat Katolik sudah bertambah dengan 135.772 orang.

Jadi suatu pertambahan hampir 50%. Rata-rata pertambahan umat per tahun selama jangka waktu itu adalah 16.971 orang. Kalau kita hitung berdasarkan angka rata-rata tahun 1971-1979, maka pada tahun 1984 ini, jumlah umat Katolik ada di Kalimantan Barat berjumlah 413.228 + (5 x 16.971) = 498.083 orang.

Pertambahan umat ini meliputi empat Keuskupan yaitu Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang dan Keuskupan Sanggau. Wilayah keempat keuskupan ini meliputi seluruh daerah Tingkat I (satu) Propinsi Kalimantan Barat.

KISAH NYATA: WAKTU PERANG DUNIA II

Seperti apa yang melanda seluruh bumi Indonesia dalam tahun 1942. semua warga negara Belanda dijebloskan ke dalam kamp-kamp tawanan, begitu juga di Kalimantan Barat. Semua misionaris warga negara Belanda dibawa ke Kuching, Sarawak, 32 orang pastor, 40 bruder, dan 123 suster.

Yang diizinkan tinggal hanya pastor Bong dan Adikardjana. Pastor Adikardjana datang dari Jawa dan membantu pada Seminari di Pontianak. Ada sembilan suster keturunan Tionghoa tidak ikut ditawan. Mula-mula mereka kembali ke rumah sanak saudaranya, tetapi kemudian berkumpul dalam sebuah rumah dekat Singkawang.

Ke empat suster Belanda yang bekerja di rumah sakit kusta diperkenankan tinggal di sana untuk merawat pasien kusta. Selama perang itu hanya dua orang pastor tadi sedapat-dapatnya memberi pelayanan rohani kepada umat yang tersebar di seluruh Kalimantan Barat.

Sudah pasti tugas itu tidak mungkin dilaksanakan. Apalagi semua gedung gereja, sekolah dan pastoran serta biara ditutup atau diduduki oleh tentara Jepang.

Memang agama Katolik tidak dilarang dan orang Katolik pun tidak mengalami penganiayaan, tetapi toh mereka tetap dicurigai, karena berhubungan erat dengan orang Belanda.

Biasanya pastor Bong mengunjungi umat dengan menyamar sebagai tukang sayur. Ia merayakan Ekaristi di rumah suster, di rumah sakit kusta dan rumah umat yang Katolik.

Ada kalanya ia berturne ke kampung-kampung. Tetapi tahun 1944 beliau ditangkap dan dipenjarakan di Mempawah. Setengah tahun kemudian dibebaskan berkat pertolongan seorang pastor Jepang yang baru datang berkunjung ke Kalimantan.
Selama beliau meringkuk dalam penjara tentara Jepang mengadakan razia-razia.

Semua orang yang pernah bekerja sama dengan Belanda, baik Tionghoa maupun Indonesia ditangkap dan dibunuh.
Mereka menggeledah juga rumah suster di Singkawang lengkap dengan alat dengan maksud menangkap juga Pastor Bong. Akan tetapi karena suster-suster mengatakan beliau sudah ditangkap oleh tentara Jepang, maka mereka tidak jadi mengadakan pemeriksaan lebih lanjut.

Dengan jatuhnya bom atom di atas kota Hirosima dan Nagasaki maka berakhirnya perang pada tanggal 15 Agustus 1945. Jepang kalah tanpa syarat. Para misionaris diperkenankan kembali ke posnya masing-masing, sehingga di semua stasi besar dapat dirayakan Pesta Natal 1945 lagi seperti sebelum perang.

Februari 1946 stasi-stasi pedalaman dibuka kembali. Tiga orang pastor dan delapan orang suster tidak pernah muncul lagi depan umatnya; mereka telah meninggal dunia di dalam kamp akibat keganasan perang.

Sesudah perang itu para misionaris mendapat baru, pengalaman semakin bertambah, karena di dalam kamp mereka (para misionaris) mengadakan pertemuan.

Di pihak lain umat membuktikan semangat mereka bukannya padam, walaupun mengalami pelbagai penderitaan dan tekanan-tekanan, malah menampakkan keinginan yang kuat akan pembangunan, untuk membentuk suatu masyarakat yang baru yang berlainan dari pada yang dulu.

Sejarah Misi Katolik di Pulau Kalimantan

Karya misi Katolik dimulai di bagian selatan Kalimantan Timur atau daerah sungai Mahakam. Ketiga misionaris yang pertama dari ordo OFMCap memulainya di stasi Laham pada bulan Juni 1907. Mereka adalah Pastor Libertus Cluts OFMCap, Pastor Camillus Buil OFMCap dan Bruder Ivo OFMCap. Pada awalnya para misionaris itu mau memulai karya misi di kampung lain, misalnya Mamahak Besar atau Long Iram, tetapi akhirnya kampung Laham yang dipilih karena jumlah penduduknya waktu itu 96 orang. Kedatangan para misionaris tidak disambut dengan penyambutan yang meriah tetapi justru mereka diterima sebagai orang asing.

Orang kampung malahan bersikap “TUNGGU SAJA” sampai menjadi jelas apa maksud ketiga orang Belanda itu mendatangi kampung mereka. Meskipun begitu masyarakat di kampung Laham membantu para misionaris dengan membangun pastoran yang sederhana dan kapel yang kecil. Tetapi tidak ada satu orang Dayak pun yang datang kepada salah satu Pastor dan memberi tahu bahwa ia mau menjadi Kristen. Belum ada seorang Dayak yang berpikir mengenai hal itu. Tetapi mereka mulai menghargai missionaris sebagai orang yang “VERY KIND”, yang selalu siap sedia untuk membantu dengan obat atau garam, yang kadang tidak ada.

Setelah beberapa tahun ketiga misionaris itu mulai mendirikan sekolah yang sama sederhananya dengan bangunan pastoran. Sekolah itu harus diisi dengan murid. Itulah sulitnya. Masyarakat kam-pung memandang sekolah tidak perlu; orang tidak perlu belajar di sekolah untuk menjadi seorang petani yang rajin atau seorang ibu yang melahirkan anak yang sehat. Pastor kadang-kadang mesti memakai paksaan halus, juga “tangan keras” dari seorang pegawai Pemerintah Belanda. Ada pegawai yang setuju dengan pastor, tetapi ada juga yang sependapat dengan orang Dayak yang anti sekolah. Tetapi para pastor maju terus, tidak mau kalah; pendidikan kaum Dayak harus dinomorsatukan. Banyak kampung di sekitar Laham dikunjungi pastor untuk mencari anak, calon murid SD Katolik yang pertama di daerah itu. Di sekolah memang nama Yesus disebut, InjilNya dan kematianNya dibicarakan, namun tidak ada seorang pun anak yang terpikat untuk masuk gereja Katolik. Para missionaris yang pertama sangat hati-hati mengenai pembaptisan anak sekolah. Baru tanggal 6 Januari 1913 - 6 tahun sesudah para misionaris tiba di Laham - 4 orang anak laki-laki murid sekolah dibaptis. Pada tahun 1924 ada 6 perkawinan katolik pertama yang diberkati.

Karya misi maju, tetapi hanya “step by step”, bukan “dalam tempo mars”. Di Laham air permandian tidak mengalir seperti sungai yang deras; air permandian hanya bertetesan.
Di luar karya misi di daerah Laham, Ordo OFMCap juga bekerja di Kalimantan Barat dan memperhatikan karya misi di seluruh pulau Sumatera. Semua tugas ini dipandang terlalu berat untuk Ordo OFMCap. Pada tanggal 13 Agustus 1924 Superior Provinsi Ordo OFMCap di Nederland mengirim surat meminta bantuan tenaga misionaris kepada Kongregasi MSF di Grave. Pada tanggal 12 Januari 1925 pater General MSF membalas surat itu dan memberitahu, bahwa MSF bersedia mengambil alih sebagian dari Vikariat Apostolik Pontianak. Dalam tempo yang tidak lama menjadi jelas bahwa MSF kemudian dipercayai untuk mengambil alih daerah Kaltim dan Kalsel (pada waktu itu Kalteng termasuk wilayah Kalsel). Seluruh anggota Kongregasi MSF, terutama di Belanda, bersorak-sorai. Meskipun tidak ada seorang anggota dewan general yang tahu sedikitpun mengenai daerah Kalimantan yang diambil alih, tetapi hal itu dianggap tidak penting; yang penting mempunyai daerah misi sendiri.

Akhirnya keputusan penting diambil. 2 pater dan 1 bruder diutus menjadi perintis di daerah misi Kalimantan. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pastor Fr. Groot MSF, Pastor J. Van de Linden MSF dan Br. Egidius Stoffels naik kapal laut dari Amsterdam dan sampai di Laham pada tanggal 27 Februari 1926. Mereka tidak memiliki pengalaman misi, tetapi hati mereka adalah hati misioner.

Ketiga misionaris MSF memulai karya misi dengan meneruskan karya para misionaris OFMCap (termasuk sekolah). Tetapi dalam waktu yang tidak lama jelaslah, bahwa kampung Laham dipandang kurang baik sebagai basis karya misi. Tahun 1928 kampung Tering dibuka sebagai stasi sentrum Misi. Sebelum perang dunia II meletus di Indonesia (1941-1945), beberapa stasi telah dibuka: Balikpapan, Samarinda, Tarakan, Tiong Ohang, Long Pahangai, Long Pakaq, Barong Tongkok dan Banjarmasin (di Kalsel).

Sejak tahun 1926, para pastor, bruder dan suster betul2 rajin memperkembangkan daerah misi mereka. Tetapi hal ini tidak mendapat tanggapan positif dari Dewan General MSF di Grave. Para anggota dewan sangat kecewa mengenai hasil di daerah misi MSF; mereka mengira bahwa banyak orang Dayak pada tahun 1926 itu yang menanti untuk dibaptis, padahal kenyataannya tidak satu pun orang Dayak yang minta dibaptis. Sebaliknya banyak pastor dan bruder diutus dari Belanda; banyak pekerja penuai, tetapi menurut pendapat Dewan MSF penuaian terlalu kurang. Terutama P. Trampe – Superior General MSF – sangat kecewa.

Pada tahun 1929 Pater General MSF mengutus Pastor Kouwenhoven, Missie Prokurator, sebagai wakilnya “TO LOOK ON THE SPOT”. Kebetulan waktu beliau di Jawa di sana diadakan rapat para uskup di Girisonta; pater Kouwenhoven diundang menghadiri rapat itu. Dalam rapat ini P. Kouwenhoven berkesempatan meneruskan kekecewaan mereka kepada rapat dan berani memberitakan, bahwa Dewan General MSF memikirkan penutupan karya misi di pedalaman Kalimantan. Seluruh peserta rapat memprotes, tidak sependapat dengan Dewan General MSF. Peserta rapat memberi nasihat kepada MSF untuk maju terus dengan iman, harapan dan kasih. Tuhan akan memberi pertumbuhan. Setiap awal memang selalu sulit. Berkat nasihat yang berasal dari para misionaris yang berpengalaman, akhirnya Dewan General MSF menguburkan pikiran yang negatif mengenai misi di Kalimantan.

Pada saat Perang Dunia II meletus, semua pastor dan bruder MSF, plus 4 suster dari Kongregasi Fransiskus Pengabdi yang bertugas di stasi Laham dan Tering ditawan oleh Jepang. Mereka adalah Pastor Fr. Arts, Pastor Th. Van Diepen, Pastor J.v.d. Linden, Pastor A. Gielens, Pastor Th. Jansen, Pastor J. Romeijn, Pastor G. Slot, Pastor J. Ogier, Pastor J. Hagens, Pastor M. Schellekens, Pastor H.v.d. Salm, Pastor M. Schoots, Pastor W. Leeferink, Br. Damiaan Leune, Br. Egidius Stoffels, Br. Felix Botman, Br. Longinus Siebers, Sr. Liguoria M. de Wert, Sr. Rogeria Vissers, Sr. Agnella v.d Hoogen dan Sr. Veridiana Verhagen.

3 pastor MSF yaitu Pastor A. Janmaat, Pastor C.v.d. Hoogte dan Pastor Fr.v.d. Linden dibunuh tentara Jepang pada awal tahun 1942 di Balikpapan dan satu bruder MSF yaitu Bruder Egidius Stoffels meninggal di Samarinda sebagai tawanan; yang lain dimerdekakan oleh tentara Australia bulan September 1945. Setelah perang berakhir, para suster dari Kongregasi Fransiskus Pengabdi tidak kembali ke Kalimantan Timur, sedangkan kebanyakan para misionaris MSF tidak mau terus berlibur ke Nederland, melainkan mereka selekas mungkin mau kembali ke stasi, yang telah ditinggalkan sejak tahun 1942.

Selama kurang lebih 3,5 tahun umat katolik di daerah misi tinggal tanpa gembala; mereka tidak dapat menerima sakramen-sakramen; mereka merasa diri sebagai umat yang tertinggalkan. Para misionaris di kamp tahanan kawatir tentang nasib umat mereka yang masih muda imannya. Dugaan mereka bahwa sebagian dari antara mereka sudah kembali ke adat yang lama. Tetapi ternyata lain sama sekali. Di mana-mana umat katolik tetap setia, malah di daerah ulu riam Mahakam ribuan orang belajar agama. Semua misionaris disambut dengan gembira. “SYUKUR KEPADA ALLAH”.

Berkaitan dengan peristiwa di atas, saya mau mengutip tulisan Mgr. M. Coomans MSF: “PERISTIWA PALING PENTING SELAMA MASA PENDUDUKAN JEPANG ADALAH PERISTIWA YANG TERJADI DI DAERAH HULU RIAM”. Peristiwa yang dimaksudkan adalah adanya sekelompok penduduk yang secara tiba-tiba memisahkan diri dari tradisi adat secara serempak. Yang menggerakkan mereka adalah Nyurai, seorang penduduk desa Long Cihang di daerah suku Penihing (hulu riam). Pada tahun 1943 masyarakat diajak untuk meninggalkan adat. Ia meyakinkan masyarakat setempat bahwa roh-roh yang selama ini dipandang masyarakat mendiami gua-gua di lembah gunung di belakang desa tidak ada lagi. Pada mulanya masyarakat Long Cihang tidak begitu menghiraukan omongan orang yang hampir buta itu. Namun ia tanpa kenal lelah terus mendesak mereka untuk percaya kepada omongan itu. Dan untuk lebih meyakinkan masyarakat bahwa roh-roh tidak ada, ia sendiri masuk ke dalam gua-gua itu.

Ketika Bo’ Nyurai keluar dari dalam gua-gua, ia tetap dalam keadaan sehat. Dari situlah kemudian semakin banyak orang menaruh perhatian dan percaya kepada Bo’ yang dipandang bertindak sebagai seorang nabi. Sering ia diundang ke desa-desa lain untuk menceritakan pengalamannya. Ia sendiri tidak masuk katolik dan tidak pernah menganjurkan orang masuk agama katolik. Bo’ Nyurai meninggal tidak lama sesudah perang, sehingga gagasan pikirannya tidak dapat diselidiki lebih jauh. Jelas ia menganjurkan agar masyarakat me-ninggalkan adat. Adat dianggap tidak mengikat lagi, karena roh-roh telah meninggalkan daerah Dayak.

Sesudah Perang Dunia II para misionaris terus bekerja dengan rajin; biji sesawi yang telah ditanam sebelum perang sudah tumbuh menjadi besar sehingga burung-burung bersarang pada cabang-cabangnya (bdk. Mat13:31). Karena hal inilah pada tahun 1952 Mgr. J. Groen MSF, Vikaris Apostolik Banjarmasin, mengirimkan permohonan kepada Paus Pius XII supaya Kalimantan Timur dipisahkan dari Vikariat Apostolik Banjarmasin dan dijadikan Vikariat Apostolik Samarinda. Permohonan ini dengan halus ditolak waktu Mgr. J. Groen MSF meninggal dan Pater W. Demarteau MSF diangkat menjadi Vikaris Apostolik Banjarmasin. Tetapi Vikaris yang baru tidak setuju dengan keputusan Roma dan mengulangi permohonan yang sama sebelum pentahbisannya sebagai Uskup. Untuk menyelesaikan soal ini Mgr. W. Demarteau dipanggil ke Roma. Akhirnya pada bulan September 1954 Roma menyetujui dan pada tanggal 21 Februari 1955 Vikariat Apostolik Samarinda didirikan. Vikaris Apostolik yang pertama adalah Mgr. J. Romeijn MSF yang kemudian digantikan oleh Mgr. Chr. van Weegberg MSF (tahun 1955-1976), lalu Mgr. Coomans MSF (tahun 1977-1992) dan Mgr. Sului Florentinus MSF (tahun 1993- sekarang).
Dengan ini selesai sedikit riwayat Keuskupan Samarinda di mana pesta sentenial dirayakan.

STELLA, SANG JAWARA FESTIVAL

Pada tanggal 18 agustus 2008 kemarin, Paroki St.Agustinus Sungai Raya mengadakan Festival Band Rohani se-Pontianak dalam memperingati Hari Ulang Tahun paroki mereka. Kami tentunya tidak menyia-nyiakan hal tersebut. Kami juga merupakan peserta yang mendaftar saat itu. Technical meeting yang digelar pada tanggal 16 agustus 2008 yang bertempat di Aula Paroki St.Agustinus kemarin telah menetapkan bakal ada belasan Band yang akan tampil pada festival kali ini. OMK Stellamaris Siantan mengutus anggota-anggota Band yang menamakan diri mereka STELLA. Mereka, dari urutan gambar kiri ke kanan: Deco (Keyboard), Tolo (Rythm), Afra (Vocal), Epenk (Drum), dan Christo (Bass).

Pembukaan festival band rohani tersebut dimulai pukul 11.00 wib. Posisi panggung tepat di pelataran teras Gereja St.Agustinus. Setelah babak penyisihan pertama, band yang masuk final pada kesempatan kali ini ada 5 band terpilih yaitu utusan dari Komunitas Mahasiswa Katholik (UNTAN), utusan dari Paroki Kota Baru, the Sweet Hostina Band dari St.Agustinus, utusan AKPER Dharma Insan, dan terakhir STELLA band utusan Paroki Stellamaris siantan. Setelah itu, keputusan juri tentang penetuan pemenang di umumkan pada pukul 18.00 wib, sekalian penyerahan hadiah dan pemotongan kue Ulang Tahun.

Bawaan kami optimis pada saat itu. Saat pengumuman juara 3 dan juara 2, kami terdiam.. dan memang benar jika juara 1 festival band kali ini adalah STELLA Band, utusan dari Stellamaris Siantan. Congratulation ya...!! (^_^)

LEOPOLD APUT DIPANGGIL BAPA

Pastor Leopold Aput telah di panggil Bapa pagi hari di Rumah Sakit Antonius sekitar jam 06.00 wib. Pastor yang merupakan projo pertama yang merintis kekatholikan di Kalimantan Barat merupakan putra daerah kebanggaan umat katholik kebanyakan. Dia sangat ramah dengan siapa saja yang ditemuinya. Misa arwah di gelar di Paroki Maria Ratu Pencinta Damai yang terletak di Jl.Pancasila pontianak pada jam 18.30 wib. Duka cita mendalam dirasakan oleh segenap pihak keluarga yang hadir dalam misa arwah tersebut.

Keheningan dalam misa arwah menjadi suasana yang mendukung duka cita mendalam terhadap seluruh umat yang sedang menghadap altar. Tidak ada satupun kata yang terucap disela-sela kegetiran saat itu, yang ada hanya tangisan yang tertahan dan tampilan wajah kesedihan para umat. Kami merasa kehilangan salah satu keluarga kami yang sangat kami hormati, ungkap salah satu keluarga yang hadir saat itu. Doa kami menghantar kepergianmu, pastor. Semoga di terima di sisi Tuhan kita. Amin.

BAKSOS

Baksos kali ini dilaksanakan saat Hari Ulang Tahun OMK Stellamaris Siantan yang jatuh pada tanggal 9 agustus 2008. Ketua pelaksana untuk kegiatan kali ini adalah Firmindus Armindo, salah satu mantan ketua dalam kepengurusan untuk periode 2005-2007. Kegiatan kali ini diselenggarakan berdasarkan program Seksi Sosial OMK, kegiatan ini berlangsung satu hari dan bertempat di panti asuhan Supadio, kabupaten Kubu Raya. Para OMK Stellamaris Siantan melakukan kegiatan ini untuk peringatan Hari Ulang Tahun OMK yang masuk pada bulan Agustus.

Tidak hanya membagi-bagikan sembako pada orang-orang miskin disekitar kawasan tersebut, tetapi juga mengunjungi panti jompo. Kami membaur diantara mereka dan mencoba merasakan apa yang mereka keluhkan selama ini. Kami seperti keluarga besar yang baru menyempatkan diri untuk bertemu setelah sekian lama, walaupun sebenarnya kami baru saja mengenal diri masing-masing. Tetapi hal tersebut kami tepis jauh sebelum kami berniat untuk mengunjungi mereka disana. Mereka sangat ramah ketika kami mengadakan tanya jawab. Seakan-akan kerinduan mereka untuk bercengkarama muncul dengan sendirinya.

Kami melihat kerut wajah bening itu memunculkan niat untuk menjalin keakraban dengan kami, para Orang Muda Katholik. Disisi lain pula, mereka merasa dikucilkan para keluarga yang menganggap diri mereka sudah tidak sanggup untuk mengerjakan pekerjaan mereka sendiri. Kami berbagi cerita bersama. Kami berusaha menghibur mereka. Walaupun mereka sudah renta, mereka juga pasti pernah muda seperti kita.

Saat hari sudah hampir sore, kami pamit kepada mereka yang ada disitu, terlebih pada suster yang sudah bersedia menyempatkan diri untuk menjadi pemandu kami. Kami mengabadikan diri kami sebelum meninggalkan Panti Jompo di Supadio. Kami berharap, walaupun kami nanti akan tinggal terpisah satu dengan yang lain, kami wajib untuk mengingat kegiatan ini. Kegiatan yang dapat menyatukan hati setiap OMK, bukan hanya di Paroki Stellamaris Siantan saja, tetapi juga di seluruh kawasan Indonesia. Amin.

SEDIKITNYA PEMINAT WEEKEND



Kali ini penulis ingin mengajak pembaca untuk bersama-sama menyikapi salah satu latar belakang para OMK yang semakin jauh dari nilai sosial. Kegiatan kali ini di selenggarakan atas kerjasama seksi kepemudaan dan OMK yang dilaksanakan di Pantai Pasir Panjang, Kabupaten Singkawang pada tanggal 12 juli 2008 sampai dengan 13 juli 2008 yang mengusung tema "KEBERSAMAAN DALAM KEBERAGAMAN". Kegiatan ini hanya di ikuti oleh 10 peserta yang notabene OMK Paroki Stellamaris sendiri serta seorang pendamping dari seksi kepemudaan, Thomas Ariston.


Kegiatan ini bukan bersifat liburan ataupun hiburan semata, tapi merupakan pembangunan karakter para OMK dengan cara Dialog OMK dengan metode pembahasan tentang "Kesadaran OMK akan hal Tanggung Jawab" dan "Pertanyaan mengapa makin sedikit OMK yang mau melibatkan diri dalam kegiatan yang bersifat membangun?". Ada kalanya OMK dihadapkan dengan persoalan sulit seperti ini, tetapi ada kalanya juga OMK harus menyeimbangkan kewajiban OMK dengan andil besar dalam tugas dalam lingkungan paroki itu sendiri. Dialog yang dimotori langsung oleh Ketua Panitia Kegiatan yaitu Gregorius Andre menjadikan OMK mengenal Identitas mereka sebagai suatu bagian dari tanggung jawab menggereja. Dialog merupakan salah satu bagian dari salah satu proses komunikasi yang memberikan hal positif dalam mencari titik terang suatu permasalahan bersama para OMK. Dialog adalah suatu cara bagaimana menyatukan hati dan pikiran secara bersamaan sehingga mencapai suatu kesepakatan akan apa yang disimpulkan. Dialog akhirnya selesai pada jam 22.30 wib. Dan dengan kebijakan panitia pelaksana sekaligus merangkap seksi keamanan, para peserta diwajibkan untuk beristirahat di penginapan agar tidak ada satupun yang berkeliaran atau ngembun di aula pertemuan. Hal tersebut dimaksudkan menjaga supaya tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.

Walaupun peserta yang terlibat dalam kegiatan kali ini hanya 10 orang, tetapi jadwal piket tetap diberlakukan. Ini diharuskan karena untuk melatih kedisiplinan dalam setiap kegiatan yang berbasis pelatihan. Jadwal piket juga melatih keterampilan serta keterlibatan OMK dalam bekerjasama dan membangun komitmen. Ini diharapkan dapat menjadi kebiasaan positif dikalangan OMK itu sendiri. Kegiatan ini diharapkan menjadi pencerah akan keberadaan OMK saat ini, siapa yang mau benar-benar melibatkan diri dan terjun langsung dalam kegiatan OMK dan bergabung dan mana yang hanya mau "jual tampang". Kami tidak ingin OMK hanya menjadi "komentator" dan "penonton" di tengah masyarakat, tapi OMK bisa menberikan andil besar dan dengan spontan terketuk hatinya untuk turun tangan dalam hal-hal yang bersikap positif. Ini bertujuan supaya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh OMK sendiri tidak dipandang hanya menghambur-hamburkan uang dan tidak memberikan hasil yang berarti buat paroki. Maka dari itu, dengan adanya keterlibatan OMK dalam setiap kegiatan yang jelas dan terdeteksi seperti ini, memberikan pemahaman agar tidak terjadi salah paham.

KRISIS KEPERGIAN OMK

Benar kata pepatah, jika ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Kami sebetulnya sangat melarang pepatah tersebut muncul kepermukaan agar kiranya kami dapat menyikapi keadaan dengan wajar. kami adalah sekelompok orang yang ingin selamanya bertahan dalam kondisi yang tidak terpisahkan oleh waktu dan keadaan. Tapi apalah kami, hanya OMK yang berharap kebersamaan itu terjalin terus, kalo bisa sampai tua. Ajibb!

Sekarang kita di ajak untuk menyikapi krisis yang terjadi dikalangan OMK sedekanat di Pontianak. Menjelang ujian Nasional SMA yang dilaksanakan bulan Mei kemarin, satu persatu dari OMK kini terlihat jarang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang telah masuk dalam program kerja tahunan OMK periode 2008-2010. Begitupula dengan kami, para OMK Stellamaris juga sebagian besar duduk si kelas 3 SMA, dan pastinya Kami juga merasakan imbas dari kepergian mereka. Setelah selesai dengan Ujian Akhir Nasional, mereka berencana akan melanjutkan kuliah di luar kota Pontianak. Dan yang kami sayangkan, mereka merupakan para OMK yang sangat aktif dalam setiap kegiatan yang kami selenggarakan terdahulu. Kami akan merasa sangat kehilangan, karena kebersamaan yang terjalin belum sepenuhnya kami rasakan. Tapi, demi pendidikan yang wajib mereka tempuh, mereka kami harapkan harus lulus pada Tingkat Ujian Akhir NAsional Tahun ini, karena itu juga yang akan menjaga kualitas organisasi OMK ini.

Mengapa saia membahas masalah ini, karena tadi malam, saat OMK sedekanat pontianak menghadiri rapat persiapan HOMK ke-3 yang diadakan di kapel tanjung hulu. Kami sebagai divisi acara, kewalahan menentukan MC untuk setiap kegiatan yang kami rancang. Kemudian Eldo, Ketua OMK Paroki St. Gabriel tanjung hulu bertanya seperti ini kepada saia "MC itu kuncinya bisa bikin orang ndak bosan dan terhibur, Gimana kalo MC nya Kawex?", teman-teman yang lain setuju. Reaksi saia saat itu hanya tersenyum. Kawex merupakan OMK Stellamaris Siantan yang mungkin memenuhi kriteria tersebut, tetapi dengan mantap saia menjawab "Kawex ndak bisa, dia mau kuliah di Bandung!"... tuing! Jawaban saia itu membuat teman-teman dari paroki lain mengakui pepatah di atas tadi. Dan yang menjadi pertanyaan kami adalah, mengapa tahun ini banyak OMK yang duduk di kelas 3 SMA padahal tahun ini adalah tahun Orang Muda KAtholik?

PEMBINAAN PENGURUS

Tema kegiatan yang kami usung kali ini adalah "BENTANGKAN SAYAP MENUJU MASA DEPAN DIRI DAN OMK" . Ini merupakan program kerja kami yang ke-4 setelah kegiatan Valentine OMK tanggal, Lokakarya Kepemimpinan (LK), Ziarah ke Gua Maria Toho, dan Ibadat Keliling OMK. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Sabtu tanggal 21 juni 2008 sampai dengan hari minggu tanggal 22 juni 2008, bertempat di Rumah Retret Constantine (RRC), kecamatan Sungai Ambawang kabupaten Kubu Raya. Kegiatan ini merupakan pelatihan Pembinaan Khusus Pengurus Inti dan Seksi-seksi penggerak Orang Muda Katholik Paroki Stellamaris Siantan.

Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, yang di ikuti oleh 2 orang pengurus inti OMK yang terlibat dan 8 orang yang di pilih dalam beberapa seksi OMK serta 9 orang anggota OMK yang aktif, 4 fasilitator yang merupakan senior sekaligus mantan ketua OMK yang masih peduli dengan kegiatan OMK dan seorang pastor pendamping yang baru saja bergabung dengan paroki Stellamaris yakni Pr. Givan. Jadi total keseluruhan yang ikut terlibat dalam kegiatan tersebut adalah 24 orang.

Kegiatan ini di mulai dengan Doa bersama di Aula yang telah di sediakan pengelola penginapan dan dilanjutkan dengan dialog bersama sebagai suatu acara pembukaan sharing OMK. Di dialog tersebut, para peserta di ajak untuk mendalami arti OMK itu sendiri. Bukan hanya dalam sudut pandang Orang Muda Katholik saja, tapi juga untuk semua kalangan baik Depan Pastoral Paroki, Wanita Katholik, Anak-Anak Bina Iman (Sekolah Minggu), Para anggota Putra Putri Altar (Misdinar) sampai pada Lingkungan di Luar Paroki itu sendiri. Dialog kami ini begitu menggugah ketertarikan kami akan bagaimana menyikapi sejauh mana keterlibatan kami akan nasib kaum muda yang berada di wilayah Paroki Stellamaris Siantan. Kami mengadakan acara temu pendapat seperti kegiatan kali ini dengan harapan dapat membantu kami menyikapi segala persoalan yang ada di sekitar kami saat ini.

Kegiatan ini merupakan salah satu eksistensi kami dalam membangun sistem kerja OMK yang kian terstruktur. Ini juga merupakan wadah supaya OMK menjadi salah satu media Orang Muda untuk berkarya dalam jasa supaya bagaimana nantinya berguna bagi sesama dan menjadi salah satu penggerak Organisasi yang terorganisir dan jelas keberadaannya di tengah-tengah masyarakat gereja. Kami membangun komitmen tersebut bersama-sama walaupun dengan latar belakang yang berbeda satu dengan yang lain.

Dialog berlanjut pada pengembangan diri para peserta kegiatan pembinaan pengurus. Para peserta di ajak mengenal diri sendiri dan individu lain disekitarnya. Dalam dialog ini juga di adakan sharing kelompok sekitar 15 menit dan dipresentasikan setelah makan malam di mulai. Setelah memasuki jam 15.00 sore, para peserta di ajak oleh fasilitator untuk kegiatan Outbound (kegiatan luar ruangan). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan rasa saling percaya antar pengurus dalam menjalankan tugasnya masing-masing dan bagaimana cara bertanggung jawab dan bersikap bijaksana dalam memutuskan suatu persoalan. Outbound dilaksanakan tidak jauh dari tempat penginapan dan dibagi dalam 3 pos. Pos pertama bersifat uji Imajinasi dengan ketabahan (mengisi air dengan cara berkelompok dalam pipa yang bocor), pos kedua bersifat membentuk Kepercayaan pada Rekan Kerja (Menjatuhkan diri dari atas balkon aula dan disambut kelompoknya), dan pos ketiga sarat dengan kekompakan tim (menaiki tembok 3 meter dengan bantuan masing-masing kelompok)

Setelah kegiatan outbound selesai, kami diminta untuk membersihkan diri (mandi) serta melakukan kegiatan pribadi sebelum melakukan makan malam bersama. Setelah tepat jam 18.30 wib, kami mengadakan makan malam bersama di ruang makan. tapi sebelum menyantap hidangan di mulai, kami beroa bersama dan di pimpin langsung oleh Pastor Givan selaku pembimbing kami. Selama makan malam bersama di lakukan, kami diwajibkan untuk "silentium" artinya makan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Setelah makan malam selesai, kami memulai presentasi dialog kami tadi siang sesuai dengan apa yang kami ingin angkat dalam keterlibatan kami sebagai pengurus OMK. Dalam dialog, kami juga di ajak untuk tanya jawab berkelompok. Dan setelah puncak dalam kegiatan berdialog mengalami langkah yang memuaskan dan dapat di ambil kesimpulannya. Ini merupakan komitmen bersama bahwa kegiatan yang hanya berlangsung 2 hari dapat menghasilkan perubahan besar untuk para pengurus OMK agar tetap menjaga kualitas dan tanggung jawab.

Setelah acara dialog menemukan titik terang dan kesimpulan yang bermakna bagi perkembangan kegiatan Orang Muda Katholik nantinya. maka kami melanjutkan acara tersebut dengan renungan sesaat sekitar 30 menit dan dilanjutkan dengan malam keakraban sekaligus acara selamat datang sebagai penyambutan pastor Givan selaku pembimbing harian kami yang baru. Kami hanya berharap, kegiatan pengembangan diri para OMK tidak hanya berakhir sampai disini saja, tetapi terus menjadi penggerak serta penyaring kegiatan OMK yang menuju hal positif. Berikut ini merupakan daftar nama Panitia Persiapan Kegiatan Pembinaan Pengurus dan Retret:

Ketua : Andy BF
Sekretaris : Andri
Bendahara : Vincent
Dokumentasi : Epenk, Angga
Perlengkapan: Gilbert, Novi
Pendataan : Amandus
Kontribusi Peserta : Rp10.000/orang

SISTEM RELIGI ORANG DAYAK

Oleh. Paulus FS

Didalam kehidupan sosial, dan kesehariannya tidak mungkin mencampur adukkan penerapan antara agama baru dan sistem religi (agama lama), yang merupakan salah satu bagian dari adat istiadat serta budaya adat leluhur, meski dipaksakan dengan cara dan sekeras apapun tetap tidak akan pernah selaras.
Letak persoalannya adalah, karena keduanya sama-sama kepercayaan yang didasari oleh keyakinan, dengan pemahaman yang berbeda, jika dipaksakan untuk digabungkan, sudah barang tentu akan terjadi benturan-benturan pemahaman, yang satu dipaksakan untuk memahami yang lainnya.

Yang benar adalah, masing-masing kepercayaan tidak saling mengintervensi, dan membiarkan masing-masing kepercayaan berproses secara alami.
Agama baru menjalankan proses sesuai dengan keyakinan kepercayaannya, demikian pula dengan budaya adat (agama lama) tanpa harus membanding-bandingkan kebenaran yang dimiliki, serta memaksakan kepercayaan lain untuk memahami kepercayaan yang dianut olehnya. Yang mungkin bisa dilakukan diantara masing-masing kepercayaan, agar tidak menimbulkan berbagai bentuk benturan adalah dengan mengetengahkan kata “toleransi”.
Andaipun suatu masa segala sistem religi lama, akan hilang dengan pergulatan ruang dan waktu, tidak ada lagi yang melaksanakannya, biarkanlah proses seleksi alam yang terjadi, bukan perubahan yang dilakukan secara radikal, revolusi dan sebagainya yang bersifat memaksa untuk meninggalkannya.
Didalam menjalankan kepercayaan dan keyakinan, tidak bisa melakukan pengkooftasian antara satu sama lainnya, dia mesti berjalan sesuai dengan pemahaman masing-masing sesuai dengan kepercayaan yang diyakini oleh kelompok penganutnya itu sendiri.

TATARAN PEMAHAMAN

KEPERCAYAAN LELUHUR
Jauh sebelum agama ada, leluhur orang Dayak memang sudah memiliki tata cara/religi yang mengatur hubungannya dengan maha penciftanya.
Tidak benar jika para leluhur orang Dayak jaman dulu di katakan “Animisme”, terbukti bahwa ketaatan dan kepercayaan leluhur orang Dayak sangat kuat dalam memelihara hubungan dengan Sang Pencifta yang disebut “Jubata”.
Disetiap kehidupan para leluhur orang Dayak jaman dulu, tidak pernah melepaskan diri dari campur tangan “Jubatanya” lewat berbagai bentuk ritual yang biasa mereka lakukan, memohon pertolongan “Jubata” saat membutuhkan sesuatu, mengucapkan syukur dan terima kasih kepada “Jubata” jika apa yang diminta dapat diperoleh tanpa melihat besar ataupun kecil sesuatu yang diterima.
Dengan melihat pola pada setiap pelaksanaan ritual dalam sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak, jelas bahwa moyang orang Dayak telah lebih dulu mengenal apa yang disebut dunia sekarang sebagai “Agama”.
Agama mengatur sistem moral dan norma-norma hidup para penganutnya yang memedomankan kearifan dan ke-Esa-an Maha Pencifta sesuai dengan ajaran masing-masing agama tersebut, demikian pula dengan sistem religi yang dilaksanakan oleh leluhur orang Dayak, yang membedakannya secara tajam antara setiap kepercayaan adalah, hari-hari besar, alat komunikasi (bahasa, alat peraga dll), perbedaan lainnya dari yang disebut dunia sebagai “agama” sekarang dengan sistem religi leluhur orang Dayak, yang disebut sebagai “Agama” sekarang, organisasional dan struktural sifatnya, sedangkan sistem religi leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi struktural”, yang ada didalamnya momentum prosesi, pelaksana prosesi dan penyelenggara prosesi.
Meski dalam penerapan kesehariannya, sistem religi para leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi”, tidak semudah itu untuk mengatakan leluhur orang Dayak sebagai “animisme”, seperti yang disebutkan diatas, bahwa leluhur orang Dayak memiliki sistem religi yang mengatur hubungan dengan maha penciftanya yang disebut “Jubata”, dalam bentuk ritual-ritual. Hanya saja tidak tersistematis dalam bentuk kalender tetap seperti agama-agama yang diakui oleh manusia didunia, leluhur orang Dayak melakukan ritual pada setiap moment-moment dalam keseharian hidup komunitasnya, contoh :
1. Ritual yang menyangkut hidup manusia, mulai dari dalam kandungan hingga meninggalnya
2. Ritual yang berhubungan dengan pekerjaan, berladang dan sebagainya, mulai dari mencari tempat dimana yang akan dijadikan lahan pekerjaan hingga melakukan syukuran terhadap hasil yang diperoleh.
3. Ritual perlindungan, pembentengan terhadap komunitas akan ancaman-ancaman (musuh, penyakit sampar dll), ritual dilakukan dari awal hingga keadaan sudah dinyatakan bebas dari ancaman tersebut, ritual seperti ini bisa dalam bentuk berpantang dan lain-lain sesuai dengan keadaan yang dirasakan atau berdasarkan tanda-tanda alam yang didapatkan.
4. Serta banyak lagi momentum-momentum ritual lainnya.
Ketetapan hari-hari besar boleh dikatakan tidak ada, semua didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan didalam komunitas-komunitas itu sendiri.
Yang menunjukan bahwa ritual yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak lebih menhormati penciftanya “Jubata”, ini ditandai pada salah satu perilaku “persembahan”, makanan yang akan digunakan sebagai persembahan, jika belum didoakan (Matik=doa singkat), belum boleh dimakan, demikian pula dengan menentukan tempat pekerjaan/ladang, setelah melakukan ritual untuk meminta restu “Jubata” dan tanda-tanda alam memperingatkan tidak boleh, maka kebiasaan leluhur orang Dayak akan mencoba meminta ditempat lain dengan cara yang sama.
Yang mau dipahami dari sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak adalah, bahwa sesungguhnya mereka telah lebih dulu memiliki cara-cara arif memelihara hubungan dengan pencifta alam semesta isinya, artinya, mereka bukan “animisme”, jelas bahwa letak persoalannya ada pada tataran pengakuan pemerintah, dan perlu dicatat bahwa Tuhan tidak membutuhkan pengakuan, yang dibutuhkan Tuhan adalah kepercayaan, dan penyebaran kepercayaan dalam bentuk organisasi-organisasi “Agama” yang diakui pemerintah, sesungguhnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan modernisasi kepercayaan dan revolusi budaya.

MUNGKINKAH DILAKUKAN INCULTURASI
Didalam ajaran kristen itu sendiri sesungguhnya sudah dilakukan inculturasi, inculturasi yang terjadi antara ajaran yang disebut perjanjian baru (sesudah Yesus lahir) dengan kepercayaan leluhur bangsa Yahudi (sebelum Yesus lahir).
Ajaran-ajaran agama, biasanya akan didominasi oleh budaya-budaya dimana agama tersebut berasal, itulah inculturasi yang pertama dilakukan.
Dewasa ini, ada upaya dari kalangan agama mencoba melakukan semacam inculturasi, bahkan sudah masuk pada tataran proses ritual, seperti tatacara “Nyangahatn” digereja dalam upacara tertentu. Apapun sesungguhnya akan baik sepanjang tidak ada yang mempertentangkannya, namun akan lain apabila kedua sisi yang akan dilakukan penyatuan (inculturasi), dan masing-masing sisi saling bertahan untuk menunjukan eksistensinya.
Kepercayaan leluhur orang Dayak dan agama-agama yang ada seperti sekarang ini, mempunyai tujuan yang sama, namun menggunakan cara dan alat komunikasi (bahasa dan alat peraga) yang berbeda-beda.
Artinya, inculturasi secara utuh tidak mungkin bisa dilaksanakan, karena ada hal-hal tertentu yang dimiliki oleh salah satu kepercayaan yang tidak akan bisa dimengerti oleh kepercayaan lain, seperti halnya “ngobet”, dalam ritual adat Dayak, ada bagian-bagiannya, yang akan sangat sulit dipahami adalah “kobet kamoh”, sementara dalam prosesi ritual adat orang Dayak, seluruh alat peraga yang biasa diadakan haruslah secara lengkap. Pertanyaannya adalah, bisakah kepercayaan lain (agama baru) menerima secara utuh seluruh alat peraga yang digunakan pada ritual adat orang Dayak untuk digunakan dalam gereja atau lainnya ?. Jawabannya tidak sesimple menjawab “ya dan tidak” letak permasalahannya ada pada tataran pemahaman, tentu kepercayaan diluar kepercayaan leluhur orang Dayak akan memahaminya lain, sedangkan bagi orang Dayak, setiap bagiannya mengandung arti penting, dan jika salah satu dihilangkan, mungkin bisa fatal akibatnya atau sederhananya, apa yang dilakukan akan sia-sia.

Yang sering terdengar dari ucapan kelompok kepercayaan lain diluar kepercayaan leluhur orang Dayak, ketika menyaksikan prosesi ritual adat orang Dayak, ada yang mengatakan menyembah berhala, memberi makan setan, menyembah pohon, menyembah batu, menyembah gunung dan lainnya.
Sebagai orang Dayak, secara pribady saya tidak bisa menepis ungkapan yang demikian, karena saya sendiri tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengerti kepercayaan dan keyakinan yang saya miliki, rancanganmu bukanlah rancanganku, karena kebenaran dalam suatu kepercayaan tidak dipahami dengan sesuatu yang berbentuk, kebenaran itu relatif sifatnya, dianya terletak pada keyakinan masing-masing penganutnya. Setiap pengikut penganut kepercayaan mempunyai hak masing-masing untuk mengatakan ajaran kepercayaannya benar, tetapi tidak berhak untuk menghakimi bahwa kepercayaan lain salah.

PEMAHAMAN KOBET
Sebelum jauh masuk dalam kepercayaan adat leluhur orang Dayak secara luas, mungkin baik terlebih dahulu diuraikan tentang makna “kobet”, karena ini salah satu bagian yang selalu mengandung resistensi tinggi bagi yang tidak mengerti makna sesungguhnya.
“Kobet” atau juga sering disebut “ongko’” dalam proses ritual adat leluhur orang Dayak, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, lain tujuan ritualnya, berbeda pula jumlah dan jenis “kobet” disediakan.
Pemberian “kobet”, sama artinya melakukan pembentengan, sebelum masuk jauh pada proses ritual, sehingga ketika ritual berjalan segala sesuatu (arwah-arwah gentayangan, setan, iblis dll) yang sudah diberi “kobet” tidak lagi mengganggu proses ritual tersebut, meski dalam proses ritual tersebut untuk mengusir roh-roh jahat, mereka tidak diusir dalam bentuk yang radikal, pengusiran dalam bentuk hormat, atau mereka yang sudah diberi “kobet” diminta bantuannya untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya untuk tidak mengganggu.
Para leluhur orang Dayak, memahami bahwa seluruh yang ada dimuka bumi ini baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan adalah bagian dari ciftaan tuhan (Jubata), saling menghormati dan mengasihi sesama ciftaanNya, menjadi suatu kewajiban tanpa terkecuali. Memberikan “kobet”, sama dengan menyapa mereka yang tidak dapat dilihat, dan harus ada sesuatu yang dipersembahkan.
Analoghynya, para pedagang kaki lima saja bisa marah jika dilakukan penggusuran, meski mereka sesungguhnya sadar bahwa mereka membuka tempat usaha atau tinggal bukan pada hak miliknya, dan bahkan mereka mungkin sadar, kegiatannya mengganggu orang lain. Namun ketika digusur, tidak jarang mereka bertindak anarkhis, tapi, beda soal jika sebelum penggusuran, komunikasi terlebih dahulu dibangun, mungkin ada yang dengan suka rela melakukan pembongkaran sendiri tanpa harus main paksa, dan kepada mereka diberikan sedikit bekal untuk sekedar menghargai.
Nah, demikianlah sesungguhnya pemahaman para leluhur orang Dayak ketika memberikan “kobet” dalam melakukan proses ritual, sehingga roh-roh yang biasanya mengganggu tidak lagi mengganggu. Mentang-mentang merasa benar lalu mau bertindak semaunya terhadap orang yang salah, itu namanya egosentris, leluhur orang Dayak memberikan cerminan lewat proses ritual adat kepada seluruh keturunannya untuk tidak egosentrisme, pada hakikatnya, cinta kasih ditujukan tidak sebatas pada orang-orang yang mengasihi kita, orang-orang terdekat kita, tapi juga bagaimana mengasihi musuh sekalipun, dan hal seperti ini dipahami sebagai keseimbangan hidup.

Kembali pada kepercayaan leluhur orang Dayak secara umum, seperti telah dipaparkan diatas, bahwa jauh sebelum agama-agama baru masuk dan berkembang dikalangan orang Dayak, para leluhur orang Dayak sudah mempunyai kepercayaan yang mengatur keseimbangan hubungan, baik dengan Sang Pencifta serta alam ciftaan beserta isinya.
Didalam agama-agama baru, juga mengajarkan hal yang demikian, sekali lagi, hanya cara dan alat komunikasi yang digunakan yang berbeda. Lain bahasa tentu lain nama dalam penyebutannya, ada yang menyebut Dewa, Allah, Tuhan, Jubata dan lain sebagainya.
Agama baru lebih dipengaruhi oleh budaya dimana mereka berasal, itu sudah pasti dan tidak dapat disangkal lagi.
Sesujujurnya, Tuhan tidak mempunyai agama, Tuhan menciftakan alam beserta isinya, dan yang dibutuhkan oleh Tuhan kepada umat manusia adalah keyakinan dan kepercayaan, mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya, bahwa Dialah (Tuhan) sumber segala-galanya, terserah dengan apapun cara yang kita pakai sebagai umatNya. Agama hanyalah sebuah organisasi dan cara, sedangkan yang mendekatkan setiap umat manusia dengan Maha Penciftanya adalah iman dan keyakinannya.
Akan lain lagi situasinya, jika Yesus, Muhammad, Sang Budha dan lainnya, lahir di Kalimantan, mungkin semua yang disebut oleh dunia sebagai agama sekarang, saya berkeyakinan, segala perilaku budaya Kalimantan (khususnya budaya Dayak) akan lebih dominan didalamnya.

TEMPAT RITUAL LELUHUR ORANG DAYAK
Tata cara dan tempat dimana para leluhur orang Dayak melakukan ritual, sangat kontekstual sifatnya, hal ini sebenarnya lebih terkait dengan kondisi jaman, seperti melakukan ritual di gunung, pohon-pohon besar, batu-batu besar dan lain-lain, yang dipahami sebagai ciftaan “Jubata” yang indah, yang besar, yang tinggi, yang kuat dan sebagainya.
Ada pepatah mengatakan “jika kita berteduh dibawah sebatang pohon yang rindang dan disitu kita menemukan kesejukan, maka ingatlah kepada orang yang menanam pohon tersebut”.
Didalam ajaran agama baru sekarang, selalu juga mengatakan bahwa “Tuhan ada dimana-mana”, pemahaman-pemahaman seperti inilah sesungguhnya yang menjadi dasar bagi para leluhur orang Dayak untuk memilih tempat-tempat yang dianggab terindah dan terbaik untuk melakukan penyembahan kepada “Jubatanya”.
Pohon-pohon besar dijadikan sebagai simbol kesuburan, batu-batu besar dijadikan sebagai simbol kekuatan, sedangkan gunung-gunung yang tinggi dijadikan sebagai simbol kemegahan, kebesaran dan keagungan “Jubata”. Jika ada yang mengatakan leluhur orang Dayak sebagai penyembah pohon, batu, gunung dan lainnya, itu semata-mata karena ketidak pahaman orang tersebut.
Alasan lain, terkait dengan jaman, dijaman kehidupan para leluhur orang Dayak, jangankan mau mendirikan gedung-gedung megah seperti Masjid, Gereja, Klenteng dan sebagainya, untuk mendirikan rumah tempat mereka tinggal saja sangat penuh dengan kesederhanaan, pakaian dari kulit kayu, lain soal kalau saat itu leluhur orang Dayak sudah mengenal tekhnolgi modern seperti sekarang ini.

ZIARAH GUA MARIA SAMPAI PANTAI SAMUDERA

kegiatan kali ini di adakan pada pertengahan bulan maria, tepatnya diselenggarakan pada tanggal 18 Mei 2008 oleh para OMK Stellamaris Siantan. Ziarah ke Gua Maria Toho kali ini di ikuti 28 orang. Rute yang kami tempuh, dimulai dari tempat pemberangkatan yaitu lingkungan paroki Stellamaris Siantan, setelah itu bergerak menuju ke tempat ziarah Stellamaris siantan bersama-sama dengan rombongan gereja (anak-anak SEKAMI, utusan serdadu WK dan Anggota Dewan Pastoral Paroki) yang ikut dalam kebersamaan itu. Pastor Sonny Wengkang,Msc selaku pastor paroki secara langsung memimpin misa di tempat ziarah tersebut. Rombongan kami tiba disana sekitar jam 10.00 wib.

Beberapa dari kami terlihat semangat dengan kedatangan di tempat ziarah tersebut . Cuaca yang panas serta terik matahari yang menyengat tidak menyurutkan hasrat kami untuk tetap hening dan khusyuk memanjatkan berbagai macam doa yang ingin kami sampaikan kepada Bunda Maria. Sesekali kami berteduh dibawah rimbunan pohon bambu yang di tanam di sekitar tempat ziarah. Angin terasa membuai raga kami, hal itu juga yang membuat hati kami tentram dalam doa dan harapan ketika berada di sana.

Setelah beberapa saat berselang, misa pun akhirnya berakhir dan kami secara bergantian memanjatkan doa masing-masing ke depan patung Bunda Maria, itulah wujud kerinduan kami akan kasih Tuhan. Kami menyempatkan diri pula untuk meletakkan bunga sebagai ucapan terimakasih kami dan tidak lupa juga membakar lilin yang telah disediakan di tempat ziarah tersebut. Keadaan hening begitu terasa disana, hanya bunyi desiran angin yang menghembus daun-daun, bunyi kicauan burung serta bunyi percikkan air gunung di sekitar tempat ziarah. Hal tersebut menambah ketentraman hati kami.

Setelah melepas kerinduan kami akan Tuhan, kami berencana untuk melanjutkan kegiatan kami yang selanjutnya yaitu rekreasi ke Pantai Samudera yang terletak di Kabupaten Singkawang. Mobil Dalmas Militer yang kami tumpangi perlahan-lahan meninggalkan tempat ziarah tadi. Tepat pukul 11.30 wib kami meninggalkan tempat ziarah dan dengan harapan kami tidak kesorean tiba di tempat rekreasi. Sebab jarak tempuh dari tempat ziarah ke tempat rekreasi kurang lebih sekitar 3 jam perjalanan. Lumayan menguras waktu.

Kami tiba di tempat rekreasi Pantai Samudera sekitar jam 14.30 wib. Tidak menunggu aba-aba, kami masing-masing berlari-lari kecil menuju bebatuan yang ada disekitar tempat rekreasi untuk melepas lelah setelah menempuh perjalanan yang lumayan menguras waktu tersebut. Banyak pula tingkah laku kami yang kami ekspresikan di tempat itu. Ada yang langsung menyewa pelampung dan berenang di sekitar pantai, ada yang hanya berdiam diri menatap ombak, ada yang makan bekal yang di bawa dari rumah, ada yang bercengkrama, ada yang berbaring di bebatuan melepas lelah, dan banyak pula yang berpose karena beberapa orang diantaranya memegang kamera digital sebagai alat dokumentasi. Ini beberapa file yang kami publikasikan tentang kegiatan yang hanya berlangsung satu hari penuh. tapi yang pasti ziarah yang kami selenggarakan seadanya ini menuai sukses. Inilah bukti eksistensi kami terhadap perkembangan Orang Muda Katholik sekarang. Ada yang mau bergabung? Silakan hubungi kami..

Trend Koor Gereja di Kalangan OMK

Paduan suara (koor, vocal group, solo dsb) dalam ibadah mempunyai dua fungsi kembar yaitu: (Pandangan ini dikemukakan oleh para aktivis Gereja. Koor dijadikan Sebagai wahana pemberitaan firman. Dan bila paduan suara ini dipahami sebagai sebagai wahana maka posisinya berdiri di pihak pelayan atau berdiri menghadap jemaat. Koor dijadikan juga Sebagai respons (aklamasi). Bila paduan suara itu dipahami sebagai akklamasi atau respon jemaat atas karya Tuhan, maka posisinya menghadap altar.

Dari pandangan di atas kita dapat mengambil sikap untuk menentukan posisi dalam ber koor (paduan suara).Dan satu hal yang perlu kita yakini bahwa kehadiran kita dalam ibadah itu juga merupakan respons terhadap karya Tuhan.Di dalam ibadah itu sendiri "Tuhan berfirman kita menjawab". Jadi baik kehadiran dan termasuk paduan suara yang kita nyanyikan merupakan respons kita terhadap karya Tuhan ataupun respon kita terhadap firman Tuhan, maka saya setuju posisi dalam ber koor (paduan suara) dalam ibadah adalah menghadap ke altar.

Dan kalaupun mengikuti pandangan yang pertama di atas "paduan suara" sebagai wahana, pemberitaan atau katakanlah kesaksian sehingga posisi yang berpaduan suara itu tampil ke depan (menghadap jemaat) maka sangat perlu kita renungkan apa yang diungkapkan Paulus ini: "...Bilama kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun" (1 Kor 14:26). Artinya mereka yang berpaduan suara itu harus menjaga supaya jangan terjadi keributan sehingga menganggu ketertiban dan melalui pakaian juga perlu mendapat perhatian, supaya tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain, yang semuanya itu boleh masuk kategori tidak membangun dalam beribadah.

keefektifan dalam menyanyikan puji-pujian gerejani sangat tergantung pada kwalitas pemimpinnya. Saya kira, kita tidak dapat menyangkali hal itu. Karena dalam kenyataannya kita dapat menyaksikan bahwa jemaat yang sama, jika dipimpin oleh pemimpin pujian yang berbeda, dapat memberikan kwalitas yang sangat berbeda pula. Itulah sebabnya Reynolds menyarankan tiga hal penting yang harus dimiliki oleh pemimpin pujian. Pertama, adanya kemampuan untuk mempengaruhi jemaat. Hal ini dapat dicapai secara rohani, di mana pemimpin pujian memancarkan kekuatan/wibawa rohani ketika memimpin pujian tsb. Dengan demikian, yang diharapkan dari seorang pemimpin pujian bukan sekedar kemampuan teknis -seperti penguasaan dari lagu yang dinyanyikan- tetapi terutama kehidupan kerohanian yang terpancar melalui kata-kata yang diucapkan serta melalui seluruh penampilannya di depan jemaat. Kedua, kemampuan untuk peka terhadap kebutuhan yang dinyatakan jemaat.

Artinya, pada kondisi tertentu, kadang-kadang jemaat perlu didorong atau dimotivasi untuk bernyanyi lebih keras atau agar lebih menghayati setiap syair lagu yang dinyanyikan. Nah, untuk mencapai tujuan tsb, pemimpin pujian harus memiliki keberanian dan kebijakan untuk melakukannya. Ketiga, kemampuan untuk mengembangkan dan menggunakan teknik yang kreatif untuk menyanyikan puji-pujian yang baik. Termasuk di sini adalah kwalitas suara pemimpin pujian itu sendiri yang menjadi contoh nyata untuk diikuti oleh seluruh jemaat. Demikian juga, kemampuan untuk memimpin jemaat dengan tangannya, di mana kedua tangannya dapat difungsikan dengan baik untuk memberi aba-aba: cepat-lambat, keras-lembut lagu pujian tsb. Dengan perkataan lain, sangat diharapkan kemampuan pemimpin pujian untuk menguasai setiap lagu yang dinyanyikan (apakah itu 2 ketuk, 3 ketuk, 4 ketuk, dstnya) dan dengan jelas hal itu dipindahkan kedalam gerakan tangan. Sangat disayangkan jika pemimpin pujian hanya berdiri di depan jemaat seperti patung tanpa memberi pengaruh apapun!

Peranan Pemain Musik, Pada umumnya para hymnologist sepakat bahwa peranan pengiring pujian (pianis, organis atau pemain gitar) sangat menentukan dalam menciptakan pujian jemaat yang baik. Itulah sebabnya baik Eskew dan McElrath, maupun Sydnor -yang memberikan bab khusus dalam menguraikan peran pengiring pujian- berpendapat bahwa orang yang memainkan lagu puji-pujian adalah “the real leader in hymn singing”. Oleh karena itu, mereka harus melakukan yang terbaik dalam mengiringi jemaat untuk memuji Tuhan. penulis juga menegaskan bahwa bunyi suara alat-alat musik yang mengiringi nyanyian tersebut haruslah meningkatkan, memperkaya dan membantu kwalitas bernyanyi dan menjadi bagian dari keseluruhan nyanyian bersama. “Alat-alat musik tidak boleh menyimpang dari nyanyian dengan menarik perhatian padanya. Alat-alat musik sebaiknya tidak mengeluarkan suara yang terlalu keras sehingga menelan nyanyian dan para penyanyinya, atau tidak juga terlalu rendah sehingga hampir tidak memberi pengaruh”.

Saya kira, peringatan tsb sangat relevan. Dari peringatan tsb, kita menemukan dua ekstrim dari mereka yang mengiringi lagu pujian. Ekstrim pertama yaitu suara musik yang terlalu keras (ditambah lagi dengan pengeras suara dengan volume besar) sehingga menelan nyanyian dan para penyanyinya. Hal ini umumnya ditemukan dalam Gereja yang berlatar belakang Karismatik. Ekstrim yang kedua adalah suara musik yang terlalu rendah sehingga hampir tidak memberi pengaruh kepada jemaat. Hal spt ini umumnya ditemukan dalam ibadah di Gereja-gereja tradisional. Jadi, kedua latar belakang Gereja tersebut perlu waspada dan segera mengubah dan memperbaiki cara bermain musik mereka. Secara lebih kongkrit Sydnor memberikan beberapa petunjuk praktis yang harus dimiliki pemusik: harus mengerti musik dan lagu serta cara memainkannya, harus bermain tepat, pandai memberi irama, bermain dengan tempo yang baik, dan akhirnya tetap setia mengikuti teks lagu nyanyian tsb.

Hal lain yang penting untuk dilakukan adalah latihan bersama pemimpin pujian. Ada empat hal yang disarankan oleh Reynolds: a) menemukan intro yang tepat dari lagu tsb; b) mencari tempo dan nada yang tepat (usahakan mengikuti nada yang telah ditetapkan oleh pencipta lagu tsb); c) mencari gaya pengiringan; legato? Stacato? Akhirnya, kesepakatan volume suara dari alat2 musik yg digunakan.

Dua Kali ke Gua Maria

Ziarah ke Gua Maria Toho yang di gelar pada tanggal 18 mei 2008 kemarin menuai sukses, dan diadakan pula acara puncak yang diselenggarakan di pantai Samudera, Singkawang. tapi tidak hanya sebatas itu saja, pada tanggal 20 mei, OMK stellamaris diundang untuk menghadiri tahbisan tiga frater yang berlokasi di Gua Maria Anjungan. Hehe, lebay memang. sebab dalam satu bulan pergi ke Gua MAria harus dua kali berturut-turut. Tapi bedanya, pada tanggal 18 mei 2008 kami pergi menggunakan Dalmas Brimob, sedangkan pada tanggal 20 mei 2008 kami konvoy dengan menunggang kendaraan pribadi. Walaupun begitu, hal tersebut tidak menyurutkan rasa kebersamaan kami. Sehubungan dengan minggu ke tiga bulan Maria kali ini, Melalui acara ini kita diajak untuk lebih mengenal teladan Bunda Maria sebagai figur dalam iman, kesetiaan, dan ketabahannya di dalam menghadapi hidup.

Sangat disayangkan teman-teman kebanyakan berhalangan untuk mengikuti undangan tahbisan kali ini dikarenakan banyak diantara OMK kami yang ikut dalam Pekan Gawai Dayak di Rumah Betang, Jl. Sutoyo. Di saat suku Dayak sedang merayakan hari raya Display Budaya di Rumah Betang pada pertengahan bulan mei, kami mengadakan ziarah ke Gua Maria. Adil bukan? Gua ini unik. Untuk melaluinya kami harus berjalan kaki melalui jalan yang berbatu, menurun dan semak-semak kering karena musim kemarau. Namun begitu tiba, kami langsung dihadapkan pada gua yang indah dan alami yang masih dipenuhi tetesan embun nan menawan sebab kami tiba disana masih terhitung pagi hari. Letaknya yang jauh dari rumah penduduk membuat suasana gua sunyi dan hening. Itu membuat jiwa kami rindu akan keberadaan Tuhan. Di tempat ini, kami mengikuti misa yang dipimpin oleh Pastor Sonny Wengkang.MSC, pastor paroki Stellamaris Siantan. Kami membaur bersama umat stelamaris yang lain. dan ternyata ziarah itu menyenangkan kawan. mau coba? Silakan!