BERMULANYA ORGANISASI GEREJA KATOLIK DI KALIMANTAN

Pada awal abad 20 Vikaris Apostolik Jakarta meminta tenaga kepada kelompok-kelompok religius di Negeri Belanda. Hasilnya ialah para pastor Ordo Kapusin Propinsi Belanda menerima tanggung jawab atas Prefektur Apostolik Borneo (Kalimantan) yang baru saja didirikan pada tanggal 11 Februari 1905.Sejak saat itulah para misionaris mulai berdatangan secara teratur ke pelbagai tempat di Kalimantan.

Pada tanggal 30 November 1905 para misionaris pertama tiba di Singkawang. Tahun 1906 Sejiram mendapat imam lagi, dan tahun 1908 dibuka sebuah stasi baru di Laham, di pinggir sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Tahun 1909 Pontianak menjadi tempat kediaman Prefek Apostolik Mgr. Pacifikus Bos, dan dengan demikian menjadi pusat segala kegiatan misi di pulau Kalimantan. Tanggal 13 Maret 1918 menjadi Vikariat Apostolik Kalimantan.

Karena daerah kerjanya sangat luas, hubungan serba sulit , dan jumlah tenaga sangat terbatas, maka tidak mungkin dapat diberikan pelayanan yang seideal-idealnya, maka Mgr. Pacifikus Bos mencari tenaga-tenaga dari Kongregasi lain untuk membantu di Kalimantan.

Hal itu tercapai pada tahun 1926, ketika para anggota Kongregasi MSF (Misi Keluarga Kudus) mengambil alih Kalimantan bagian Selatan dan Timur, yang kemudian pada tanggal 21 Mei 1938 menjadi Prefektur Apostolik Banjarmasin. Pada tanggal yang sama Pontianak menjadi Vikariat Apostolik. Dengan demikian pastor Kapusin dapat memusatkan perhatiannya di Kalimantan Barat saja.

Tanggal 10 Maret 1949 Prefektur Apostolik Banjarmasin meningkat menjadi Vikariat Apostolik, kemudian tanggal 21 Februari 1955 dibagi menjadi Vikariat Apostolik Banjarmasin dan Vikariat Apostolik Samarinda.

Meskipun daerah kerja semakin kecil, namun toh cukup luas untuk para pastor Kapusin. Maka diperlukan tenaga-tenaga dari Kongregasi lain lagi. Kali ini dari Serikat Maria Montfortan (SMM). Tahun 1939 para pastor Montfortan yang pertama tiba di Kalimantan Barat dan mengambil alih bagian timur Kalimantan Barat yang terdiri dari Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu.
Pada tanggal 11 Maret 1948 daerah ini menjadi Prefektur Apostolik Sintang dan pada tanggal 23 April 1956 ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik.

Sementara itu perkembangan gereja semakin pesat, sedangkan pertambahan jumlah misionaris tidak terlalu banyak, maka bagian selatan Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Ketapang belum dapat dilayani semaksimal mungkin. Baru sesudah perang dunia II berakhir, ketika para imam Pasionis datang membantu, daerah Ketapang mendapat perhatian penuh.

Ternyata perkembangan gereja di situ cukup memberi harapan, sehingga pada tanggal 14 Januari 1955 Paus Pius XII memisahkannya dari Vikariat Apostolik Pontianak dan menjadikannya Prefektur Apostolik Ketapang.
Atas permintaan Roma maka daerah Sanggau, Sekadau dan Meliau, yang letaknya di sebelah Selatan Sungai Kapuas, digabungkan dengan wilayah Prefektur baru itu.

Prefektur Apostolik Ketapang ternyata masih terlalu luas untuk para pastor Pasionis Belanda. Maka pada tahun 1960 para Pasionis Italia datang membantu, sebagai daerah kerja diserahi daerah Sekadau dan daerah sebelah selatan Sungai Kapuas.
Pada pendirian Hierarki Indonesia tanggal 3 Januari 1961, Kalimantan menjadi satu Propinsi Gerejani yang terdiri atas: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang , Ketapang, Banjarmasin dan Samarinda.

Pada tanggal 24 Agustus 1968 Wilayah Sekadau menjadi Prefektur Apostolik Sekadau.

Karena banyak umat dan luasnya Keuskupan Agung Pontianak, maka pada tanggal 10 Juli 1982 bagian Kabupaten Sanggau yang masuk Keuskupan Agung Pontianak digabungkan dengan Prefektur Apostolik Sekadau, dan dilebur menjadi menjadi Keuskupan Sanggau, yang meliputi seluruh daerah Kabupaten Sanggau.

Dengan demikian dari tahun 1905 sampai dengan 1984 Prefektur Apostolik Kalimantan (Borneo) sudah berkembang menjadi enam daerah Gerejani, yakni: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Samarinda, dan Keuskupan Sanggau.

Jumlah umat Katolik di Kalimantan Barat pada tahun 1971 menurut hasil sensus penduduk tahun itu sebesar 277.456 orang. Pada tahun 1979 jumlah itu sudah meningkat menjadi 413.228 orang. Ini berarti dalam jangka waktu delapan tahun jumlah umat Katolik sudah bertambah dengan 135.772 orang.

Jadi suatu pertambahan hampir 50%. Rata-rata pertambahan umat per tahun selama jangka waktu itu adalah 16.971 orang. Kalau kita hitung berdasarkan angka rata-rata tahun 1971-1979, maka pada tahun 1984 ini, jumlah umat Katolik ada di Kalimantan Barat berjumlah 413.228 + (5 x 16.971) = 498.083 orang.

Pertambahan umat ini meliputi empat Keuskupan yaitu Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang dan Keuskupan Sanggau. Wilayah keempat keuskupan ini meliputi seluruh daerah Tingkat I (satu) Propinsi Kalimantan Barat.

KISAH NYATA: WAKTU PERANG DUNIA II

Seperti apa yang melanda seluruh bumi Indonesia dalam tahun 1942. semua warga negara Belanda dijebloskan ke dalam kamp-kamp tawanan, begitu juga di Kalimantan Barat. Semua misionaris warga negara Belanda dibawa ke Kuching, Sarawak, 32 orang pastor, 40 bruder, dan 123 suster.

Yang diizinkan tinggal hanya pastor Bong dan Adikardjana. Pastor Adikardjana datang dari Jawa dan membantu pada Seminari di Pontianak. Ada sembilan suster keturunan Tionghoa tidak ikut ditawan. Mula-mula mereka kembali ke rumah sanak saudaranya, tetapi kemudian berkumpul dalam sebuah rumah dekat Singkawang.

Ke empat suster Belanda yang bekerja di rumah sakit kusta diperkenankan tinggal di sana untuk merawat pasien kusta. Selama perang itu hanya dua orang pastor tadi sedapat-dapatnya memberi pelayanan rohani kepada umat yang tersebar di seluruh Kalimantan Barat.

Sudah pasti tugas itu tidak mungkin dilaksanakan. Apalagi semua gedung gereja, sekolah dan pastoran serta biara ditutup atau diduduki oleh tentara Jepang.

Memang agama Katolik tidak dilarang dan orang Katolik pun tidak mengalami penganiayaan, tetapi toh mereka tetap dicurigai, karena berhubungan erat dengan orang Belanda.

Biasanya pastor Bong mengunjungi umat dengan menyamar sebagai tukang sayur. Ia merayakan Ekaristi di rumah suster, di rumah sakit kusta dan rumah umat yang Katolik.

Ada kalanya ia berturne ke kampung-kampung. Tetapi tahun 1944 beliau ditangkap dan dipenjarakan di Mempawah. Setengah tahun kemudian dibebaskan berkat pertolongan seorang pastor Jepang yang baru datang berkunjung ke Kalimantan.
Selama beliau meringkuk dalam penjara tentara Jepang mengadakan razia-razia.

Semua orang yang pernah bekerja sama dengan Belanda, baik Tionghoa maupun Indonesia ditangkap dan dibunuh.
Mereka menggeledah juga rumah suster di Singkawang lengkap dengan alat dengan maksud menangkap juga Pastor Bong. Akan tetapi karena suster-suster mengatakan beliau sudah ditangkap oleh tentara Jepang, maka mereka tidak jadi mengadakan pemeriksaan lebih lanjut.

Dengan jatuhnya bom atom di atas kota Hirosima dan Nagasaki maka berakhirnya perang pada tanggal 15 Agustus 1945. Jepang kalah tanpa syarat. Para misionaris diperkenankan kembali ke posnya masing-masing, sehingga di semua stasi besar dapat dirayakan Pesta Natal 1945 lagi seperti sebelum perang.

Februari 1946 stasi-stasi pedalaman dibuka kembali. Tiga orang pastor dan delapan orang suster tidak pernah muncul lagi depan umatnya; mereka telah meninggal dunia di dalam kamp akibat keganasan perang.

Sesudah perang itu para misionaris mendapat baru, pengalaman semakin bertambah, karena di dalam kamp mereka (para misionaris) mengadakan pertemuan.

Di pihak lain umat membuktikan semangat mereka bukannya padam, walaupun mengalami pelbagai penderitaan dan tekanan-tekanan, malah menampakkan keinginan yang kuat akan pembangunan, untuk membentuk suatu masyarakat yang baru yang berlainan dari pada yang dulu.

Sejarah Misi Katolik di Pulau Kalimantan

Karya misi Katolik dimulai di bagian selatan Kalimantan Timur atau daerah sungai Mahakam. Ketiga misionaris yang pertama dari ordo OFMCap memulainya di stasi Laham pada bulan Juni 1907. Mereka adalah Pastor Libertus Cluts OFMCap, Pastor Camillus Buil OFMCap dan Bruder Ivo OFMCap. Pada awalnya para misionaris itu mau memulai karya misi di kampung lain, misalnya Mamahak Besar atau Long Iram, tetapi akhirnya kampung Laham yang dipilih karena jumlah penduduknya waktu itu 96 orang. Kedatangan para misionaris tidak disambut dengan penyambutan yang meriah tetapi justru mereka diterima sebagai orang asing.

Orang kampung malahan bersikap “TUNGGU SAJA” sampai menjadi jelas apa maksud ketiga orang Belanda itu mendatangi kampung mereka. Meskipun begitu masyarakat di kampung Laham membantu para misionaris dengan membangun pastoran yang sederhana dan kapel yang kecil. Tetapi tidak ada satu orang Dayak pun yang datang kepada salah satu Pastor dan memberi tahu bahwa ia mau menjadi Kristen. Belum ada seorang Dayak yang berpikir mengenai hal itu. Tetapi mereka mulai menghargai missionaris sebagai orang yang “VERY KIND”, yang selalu siap sedia untuk membantu dengan obat atau garam, yang kadang tidak ada.

Setelah beberapa tahun ketiga misionaris itu mulai mendirikan sekolah yang sama sederhananya dengan bangunan pastoran. Sekolah itu harus diisi dengan murid. Itulah sulitnya. Masyarakat kam-pung memandang sekolah tidak perlu; orang tidak perlu belajar di sekolah untuk menjadi seorang petani yang rajin atau seorang ibu yang melahirkan anak yang sehat. Pastor kadang-kadang mesti memakai paksaan halus, juga “tangan keras” dari seorang pegawai Pemerintah Belanda. Ada pegawai yang setuju dengan pastor, tetapi ada juga yang sependapat dengan orang Dayak yang anti sekolah. Tetapi para pastor maju terus, tidak mau kalah; pendidikan kaum Dayak harus dinomorsatukan. Banyak kampung di sekitar Laham dikunjungi pastor untuk mencari anak, calon murid SD Katolik yang pertama di daerah itu. Di sekolah memang nama Yesus disebut, InjilNya dan kematianNya dibicarakan, namun tidak ada seorang pun anak yang terpikat untuk masuk gereja Katolik. Para missionaris yang pertama sangat hati-hati mengenai pembaptisan anak sekolah. Baru tanggal 6 Januari 1913 - 6 tahun sesudah para misionaris tiba di Laham - 4 orang anak laki-laki murid sekolah dibaptis. Pada tahun 1924 ada 6 perkawinan katolik pertama yang diberkati.

Karya misi maju, tetapi hanya “step by step”, bukan “dalam tempo mars”. Di Laham air permandian tidak mengalir seperti sungai yang deras; air permandian hanya bertetesan.
Di luar karya misi di daerah Laham, Ordo OFMCap juga bekerja di Kalimantan Barat dan memperhatikan karya misi di seluruh pulau Sumatera. Semua tugas ini dipandang terlalu berat untuk Ordo OFMCap. Pada tanggal 13 Agustus 1924 Superior Provinsi Ordo OFMCap di Nederland mengirim surat meminta bantuan tenaga misionaris kepada Kongregasi MSF di Grave. Pada tanggal 12 Januari 1925 pater General MSF membalas surat itu dan memberitahu, bahwa MSF bersedia mengambil alih sebagian dari Vikariat Apostolik Pontianak. Dalam tempo yang tidak lama menjadi jelas bahwa MSF kemudian dipercayai untuk mengambil alih daerah Kaltim dan Kalsel (pada waktu itu Kalteng termasuk wilayah Kalsel). Seluruh anggota Kongregasi MSF, terutama di Belanda, bersorak-sorai. Meskipun tidak ada seorang anggota dewan general yang tahu sedikitpun mengenai daerah Kalimantan yang diambil alih, tetapi hal itu dianggap tidak penting; yang penting mempunyai daerah misi sendiri.

Akhirnya keputusan penting diambil. 2 pater dan 1 bruder diutus menjadi perintis di daerah misi Kalimantan. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pastor Fr. Groot MSF, Pastor J. Van de Linden MSF dan Br. Egidius Stoffels naik kapal laut dari Amsterdam dan sampai di Laham pada tanggal 27 Februari 1926. Mereka tidak memiliki pengalaman misi, tetapi hati mereka adalah hati misioner.

Ketiga misionaris MSF memulai karya misi dengan meneruskan karya para misionaris OFMCap (termasuk sekolah). Tetapi dalam waktu yang tidak lama jelaslah, bahwa kampung Laham dipandang kurang baik sebagai basis karya misi. Tahun 1928 kampung Tering dibuka sebagai stasi sentrum Misi. Sebelum perang dunia II meletus di Indonesia (1941-1945), beberapa stasi telah dibuka: Balikpapan, Samarinda, Tarakan, Tiong Ohang, Long Pahangai, Long Pakaq, Barong Tongkok dan Banjarmasin (di Kalsel).

Sejak tahun 1926, para pastor, bruder dan suster betul2 rajin memperkembangkan daerah misi mereka. Tetapi hal ini tidak mendapat tanggapan positif dari Dewan General MSF di Grave. Para anggota dewan sangat kecewa mengenai hasil di daerah misi MSF; mereka mengira bahwa banyak orang Dayak pada tahun 1926 itu yang menanti untuk dibaptis, padahal kenyataannya tidak satu pun orang Dayak yang minta dibaptis. Sebaliknya banyak pastor dan bruder diutus dari Belanda; banyak pekerja penuai, tetapi menurut pendapat Dewan MSF penuaian terlalu kurang. Terutama P. Trampe – Superior General MSF – sangat kecewa.

Pada tahun 1929 Pater General MSF mengutus Pastor Kouwenhoven, Missie Prokurator, sebagai wakilnya “TO LOOK ON THE SPOT”. Kebetulan waktu beliau di Jawa di sana diadakan rapat para uskup di Girisonta; pater Kouwenhoven diundang menghadiri rapat itu. Dalam rapat ini P. Kouwenhoven berkesempatan meneruskan kekecewaan mereka kepada rapat dan berani memberitakan, bahwa Dewan General MSF memikirkan penutupan karya misi di pedalaman Kalimantan. Seluruh peserta rapat memprotes, tidak sependapat dengan Dewan General MSF. Peserta rapat memberi nasihat kepada MSF untuk maju terus dengan iman, harapan dan kasih. Tuhan akan memberi pertumbuhan. Setiap awal memang selalu sulit. Berkat nasihat yang berasal dari para misionaris yang berpengalaman, akhirnya Dewan General MSF menguburkan pikiran yang negatif mengenai misi di Kalimantan.

Pada saat Perang Dunia II meletus, semua pastor dan bruder MSF, plus 4 suster dari Kongregasi Fransiskus Pengabdi yang bertugas di stasi Laham dan Tering ditawan oleh Jepang. Mereka adalah Pastor Fr. Arts, Pastor Th. Van Diepen, Pastor J.v.d. Linden, Pastor A. Gielens, Pastor Th. Jansen, Pastor J. Romeijn, Pastor G. Slot, Pastor J. Ogier, Pastor J. Hagens, Pastor M. Schellekens, Pastor H.v.d. Salm, Pastor M. Schoots, Pastor W. Leeferink, Br. Damiaan Leune, Br. Egidius Stoffels, Br. Felix Botman, Br. Longinus Siebers, Sr. Liguoria M. de Wert, Sr. Rogeria Vissers, Sr. Agnella v.d Hoogen dan Sr. Veridiana Verhagen.

3 pastor MSF yaitu Pastor A. Janmaat, Pastor C.v.d. Hoogte dan Pastor Fr.v.d. Linden dibunuh tentara Jepang pada awal tahun 1942 di Balikpapan dan satu bruder MSF yaitu Bruder Egidius Stoffels meninggal di Samarinda sebagai tawanan; yang lain dimerdekakan oleh tentara Australia bulan September 1945. Setelah perang berakhir, para suster dari Kongregasi Fransiskus Pengabdi tidak kembali ke Kalimantan Timur, sedangkan kebanyakan para misionaris MSF tidak mau terus berlibur ke Nederland, melainkan mereka selekas mungkin mau kembali ke stasi, yang telah ditinggalkan sejak tahun 1942.

Selama kurang lebih 3,5 tahun umat katolik di daerah misi tinggal tanpa gembala; mereka tidak dapat menerima sakramen-sakramen; mereka merasa diri sebagai umat yang tertinggalkan. Para misionaris di kamp tahanan kawatir tentang nasib umat mereka yang masih muda imannya. Dugaan mereka bahwa sebagian dari antara mereka sudah kembali ke adat yang lama. Tetapi ternyata lain sama sekali. Di mana-mana umat katolik tetap setia, malah di daerah ulu riam Mahakam ribuan orang belajar agama. Semua misionaris disambut dengan gembira. “SYUKUR KEPADA ALLAH”.

Berkaitan dengan peristiwa di atas, saya mau mengutip tulisan Mgr. M. Coomans MSF: “PERISTIWA PALING PENTING SELAMA MASA PENDUDUKAN JEPANG ADALAH PERISTIWA YANG TERJADI DI DAERAH HULU RIAM”. Peristiwa yang dimaksudkan adalah adanya sekelompok penduduk yang secara tiba-tiba memisahkan diri dari tradisi adat secara serempak. Yang menggerakkan mereka adalah Nyurai, seorang penduduk desa Long Cihang di daerah suku Penihing (hulu riam). Pada tahun 1943 masyarakat diajak untuk meninggalkan adat. Ia meyakinkan masyarakat setempat bahwa roh-roh yang selama ini dipandang masyarakat mendiami gua-gua di lembah gunung di belakang desa tidak ada lagi. Pada mulanya masyarakat Long Cihang tidak begitu menghiraukan omongan orang yang hampir buta itu. Namun ia tanpa kenal lelah terus mendesak mereka untuk percaya kepada omongan itu. Dan untuk lebih meyakinkan masyarakat bahwa roh-roh tidak ada, ia sendiri masuk ke dalam gua-gua itu.

Ketika Bo’ Nyurai keluar dari dalam gua-gua, ia tetap dalam keadaan sehat. Dari situlah kemudian semakin banyak orang menaruh perhatian dan percaya kepada Bo’ yang dipandang bertindak sebagai seorang nabi. Sering ia diundang ke desa-desa lain untuk menceritakan pengalamannya. Ia sendiri tidak masuk katolik dan tidak pernah menganjurkan orang masuk agama katolik. Bo’ Nyurai meninggal tidak lama sesudah perang, sehingga gagasan pikirannya tidak dapat diselidiki lebih jauh. Jelas ia menganjurkan agar masyarakat me-ninggalkan adat. Adat dianggap tidak mengikat lagi, karena roh-roh telah meninggalkan daerah Dayak.

Sesudah Perang Dunia II para misionaris terus bekerja dengan rajin; biji sesawi yang telah ditanam sebelum perang sudah tumbuh menjadi besar sehingga burung-burung bersarang pada cabang-cabangnya (bdk. Mat13:31). Karena hal inilah pada tahun 1952 Mgr. J. Groen MSF, Vikaris Apostolik Banjarmasin, mengirimkan permohonan kepada Paus Pius XII supaya Kalimantan Timur dipisahkan dari Vikariat Apostolik Banjarmasin dan dijadikan Vikariat Apostolik Samarinda. Permohonan ini dengan halus ditolak waktu Mgr. J. Groen MSF meninggal dan Pater W. Demarteau MSF diangkat menjadi Vikaris Apostolik Banjarmasin. Tetapi Vikaris yang baru tidak setuju dengan keputusan Roma dan mengulangi permohonan yang sama sebelum pentahbisannya sebagai Uskup. Untuk menyelesaikan soal ini Mgr. W. Demarteau dipanggil ke Roma. Akhirnya pada bulan September 1954 Roma menyetujui dan pada tanggal 21 Februari 1955 Vikariat Apostolik Samarinda didirikan. Vikaris Apostolik yang pertama adalah Mgr. J. Romeijn MSF yang kemudian digantikan oleh Mgr. Chr. van Weegberg MSF (tahun 1955-1976), lalu Mgr. Coomans MSF (tahun 1977-1992) dan Mgr. Sului Florentinus MSF (tahun 1993- sekarang).
Dengan ini selesai sedikit riwayat Keuskupan Samarinda di mana pesta sentenial dirayakan.