BERMULANYA ORGANISASI GEREJA KATOLIK DI KALIMANTAN

23.54

Pada awal abad 20 Vikaris Apostolik Jakarta meminta tenaga kepada kelompok-kelompok religius di Negeri Belanda. Hasilnya ialah para pastor Ordo Kapusin Propinsi Belanda menerima tanggung jawab atas Prefektur Apostolik Borneo (Kalimantan) yang baru saja didirikan pada tanggal 11 Februari 1905.Sejak saat itulah para misionaris mulai berdatangan secara teratur ke pelbagai tempat di Kalimantan.

Pada tanggal 30 November 1905 para misionaris pertama tiba di Singkawang. Tahun 1906 Sejiram mendapat imam lagi, dan tahun 1908 dibuka sebuah stasi baru di Laham, di pinggir sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Tahun 1909 Pontianak menjadi tempat kediaman Prefek Apostolik Mgr. Pacifikus Bos, dan dengan demikian menjadi pusat segala kegiatan misi di pulau Kalimantan. Tanggal 13 Maret 1918 menjadi Vikariat Apostolik Kalimantan.

Karena daerah kerjanya sangat luas, hubungan serba sulit , dan jumlah tenaga sangat terbatas, maka tidak mungkin dapat diberikan pelayanan yang seideal-idealnya, maka Mgr. Pacifikus Bos mencari tenaga-tenaga dari Kongregasi lain untuk membantu di Kalimantan.

Hal itu tercapai pada tahun 1926, ketika para anggota Kongregasi MSF (Misi Keluarga Kudus) mengambil alih Kalimantan bagian Selatan dan Timur, yang kemudian pada tanggal 21 Mei 1938 menjadi Prefektur Apostolik Banjarmasin. Pada tanggal yang sama Pontianak menjadi Vikariat Apostolik. Dengan demikian pastor Kapusin dapat memusatkan perhatiannya di Kalimantan Barat saja.

Tanggal 10 Maret 1949 Prefektur Apostolik Banjarmasin meningkat menjadi Vikariat Apostolik, kemudian tanggal 21 Februari 1955 dibagi menjadi Vikariat Apostolik Banjarmasin dan Vikariat Apostolik Samarinda.

Meskipun daerah kerja semakin kecil, namun toh cukup luas untuk para pastor Kapusin. Maka diperlukan tenaga-tenaga dari Kongregasi lain lagi. Kali ini dari Serikat Maria Montfortan (SMM). Tahun 1939 para pastor Montfortan yang pertama tiba di Kalimantan Barat dan mengambil alih bagian timur Kalimantan Barat yang terdiri dari Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu.
Pada tanggal 11 Maret 1948 daerah ini menjadi Prefektur Apostolik Sintang dan pada tanggal 23 April 1956 ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik.

Sementara itu perkembangan gereja semakin pesat, sedangkan pertambahan jumlah misionaris tidak terlalu banyak, maka bagian selatan Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Ketapang belum dapat dilayani semaksimal mungkin. Baru sesudah perang dunia II berakhir, ketika para imam Pasionis datang membantu, daerah Ketapang mendapat perhatian penuh.

Ternyata perkembangan gereja di situ cukup memberi harapan, sehingga pada tanggal 14 Januari 1955 Paus Pius XII memisahkannya dari Vikariat Apostolik Pontianak dan menjadikannya Prefektur Apostolik Ketapang.
Atas permintaan Roma maka daerah Sanggau, Sekadau dan Meliau, yang letaknya di sebelah Selatan Sungai Kapuas, digabungkan dengan wilayah Prefektur baru itu.

Prefektur Apostolik Ketapang ternyata masih terlalu luas untuk para pastor Pasionis Belanda. Maka pada tahun 1960 para Pasionis Italia datang membantu, sebagai daerah kerja diserahi daerah Sekadau dan daerah sebelah selatan Sungai Kapuas.
Pada pendirian Hierarki Indonesia tanggal 3 Januari 1961, Kalimantan menjadi satu Propinsi Gerejani yang terdiri atas: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang , Ketapang, Banjarmasin dan Samarinda.

Pada tanggal 24 Agustus 1968 Wilayah Sekadau menjadi Prefektur Apostolik Sekadau.

Karena banyak umat dan luasnya Keuskupan Agung Pontianak, maka pada tanggal 10 Juli 1982 bagian Kabupaten Sanggau yang masuk Keuskupan Agung Pontianak digabungkan dengan Prefektur Apostolik Sekadau, dan dilebur menjadi menjadi Keuskupan Sanggau, yang meliputi seluruh daerah Kabupaten Sanggau.

Dengan demikian dari tahun 1905 sampai dengan 1984 Prefektur Apostolik Kalimantan (Borneo) sudah berkembang menjadi enam daerah Gerejani, yakni: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Samarinda, dan Keuskupan Sanggau.

Jumlah umat Katolik di Kalimantan Barat pada tahun 1971 menurut hasil sensus penduduk tahun itu sebesar 277.456 orang. Pada tahun 1979 jumlah itu sudah meningkat menjadi 413.228 orang. Ini berarti dalam jangka waktu delapan tahun jumlah umat Katolik sudah bertambah dengan 135.772 orang.

Jadi suatu pertambahan hampir 50%. Rata-rata pertambahan umat per tahun selama jangka waktu itu adalah 16.971 orang. Kalau kita hitung berdasarkan angka rata-rata tahun 1971-1979, maka pada tahun 1984 ini, jumlah umat Katolik ada di Kalimantan Barat berjumlah 413.228 + (5 x 16.971) = 498.083 orang.

Pertambahan umat ini meliputi empat Keuskupan yaitu Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang dan Keuskupan Sanggau. Wilayah keempat keuskupan ini meliputi seluruh daerah Tingkat I (satu) Propinsi Kalimantan Barat.

KISAH NYATA: WAKTU PERANG DUNIA II

Seperti apa yang melanda seluruh bumi Indonesia dalam tahun 1942. semua warga negara Belanda dijebloskan ke dalam kamp-kamp tawanan, begitu juga di Kalimantan Barat. Semua misionaris warga negara Belanda dibawa ke Kuching, Sarawak, 32 orang pastor, 40 bruder, dan 123 suster.

Yang diizinkan tinggal hanya pastor Bong dan Adikardjana. Pastor Adikardjana datang dari Jawa dan membantu pada Seminari di Pontianak. Ada sembilan suster keturunan Tionghoa tidak ikut ditawan. Mula-mula mereka kembali ke rumah sanak saudaranya, tetapi kemudian berkumpul dalam sebuah rumah dekat Singkawang.

Ke empat suster Belanda yang bekerja di rumah sakit kusta diperkenankan tinggal di sana untuk merawat pasien kusta. Selama perang itu hanya dua orang pastor tadi sedapat-dapatnya memberi pelayanan rohani kepada umat yang tersebar di seluruh Kalimantan Barat.

Sudah pasti tugas itu tidak mungkin dilaksanakan. Apalagi semua gedung gereja, sekolah dan pastoran serta biara ditutup atau diduduki oleh tentara Jepang.

Memang agama Katolik tidak dilarang dan orang Katolik pun tidak mengalami penganiayaan, tetapi toh mereka tetap dicurigai, karena berhubungan erat dengan orang Belanda.

Biasanya pastor Bong mengunjungi umat dengan menyamar sebagai tukang sayur. Ia merayakan Ekaristi di rumah suster, di rumah sakit kusta dan rumah umat yang Katolik.

Ada kalanya ia berturne ke kampung-kampung. Tetapi tahun 1944 beliau ditangkap dan dipenjarakan di Mempawah. Setengah tahun kemudian dibebaskan berkat pertolongan seorang pastor Jepang yang baru datang berkunjung ke Kalimantan.
Selama beliau meringkuk dalam penjara tentara Jepang mengadakan razia-razia.

Semua orang yang pernah bekerja sama dengan Belanda, baik Tionghoa maupun Indonesia ditangkap dan dibunuh.
Mereka menggeledah juga rumah suster di Singkawang lengkap dengan alat dengan maksud menangkap juga Pastor Bong. Akan tetapi karena suster-suster mengatakan beliau sudah ditangkap oleh tentara Jepang, maka mereka tidak jadi mengadakan pemeriksaan lebih lanjut.

Dengan jatuhnya bom atom di atas kota Hirosima dan Nagasaki maka berakhirnya perang pada tanggal 15 Agustus 1945. Jepang kalah tanpa syarat. Para misionaris diperkenankan kembali ke posnya masing-masing, sehingga di semua stasi besar dapat dirayakan Pesta Natal 1945 lagi seperti sebelum perang.

Februari 1946 stasi-stasi pedalaman dibuka kembali. Tiga orang pastor dan delapan orang suster tidak pernah muncul lagi depan umatnya; mereka telah meninggal dunia di dalam kamp akibat keganasan perang.

Sesudah perang itu para misionaris mendapat baru, pengalaman semakin bertambah, karena di dalam kamp mereka (para misionaris) mengadakan pertemuan.

Di pihak lain umat membuktikan semangat mereka bukannya padam, walaupun mengalami pelbagai penderitaan dan tekanan-tekanan, malah menampakkan keinginan yang kuat akan pembangunan, untuk membentuk suatu masyarakat yang baru yang berlainan dari pada yang dulu.

Related Posts :