KRISIS KEPERGIAN OMK

Benar kata pepatah, jika ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Kami sebetulnya sangat melarang pepatah tersebut muncul kepermukaan agar kiranya kami dapat menyikapi keadaan dengan wajar. kami adalah sekelompok orang yang ingin selamanya bertahan dalam kondisi yang tidak terpisahkan oleh waktu dan keadaan. Tapi apalah kami, hanya OMK yang berharap kebersamaan itu terjalin terus, kalo bisa sampai tua. Ajibb!

Sekarang kita di ajak untuk menyikapi krisis yang terjadi dikalangan OMK sedekanat di Pontianak. Menjelang ujian Nasional SMA yang dilaksanakan bulan Mei kemarin, satu persatu dari OMK kini terlihat jarang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang telah masuk dalam program kerja tahunan OMK periode 2008-2010. Begitupula dengan kami, para OMK Stellamaris juga sebagian besar duduk si kelas 3 SMA, dan pastinya Kami juga merasakan imbas dari kepergian mereka. Setelah selesai dengan Ujian Akhir Nasional, mereka berencana akan melanjutkan kuliah di luar kota Pontianak. Dan yang kami sayangkan, mereka merupakan para OMK yang sangat aktif dalam setiap kegiatan yang kami selenggarakan terdahulu. Kami akan merasa sangat kehilangan, karena kebersamaan yang terjalin belum sepenuhnya kami rasakan. Tapi, demi pendidikan yang wajib mereka tempuh, mereka kami harapkan harus lulus pada Tingkat Ujian Akhir NAsional Tahun ini, karena itu juga yang akan menjaga kualitas organisasi OMK ini.

Mengapa saia membahas masalah ini, karena tadi malam, saat OMK sedekanat pontianak menghadiri rapat persiapan HOMK ke-3 yang diadakan di kapel tanjung hulu. Kami sebagai divisi acara, kewalahan menentukan MC untuk setiap kegiatan yang kami rancang. Kemudian Eldo, Ketua OMK Paroki St. Gabriel tanjung hulu bertanya seperti ini kepada saia "MC itu kuncinya bisa bikin orang ndak bosan dan terhibur, Gimana kalo MC nya Kawex?", teman-teman yang lain setuju. Reaksi saia saat itu hanya tersenyum. Kawex merupakan OMK Stellamaris Siantan yang mungkin memenuhi kriteria tersebut, tetapi dengan mantap saia menjawab "Kawex ndak bisa, dia mau kuliah di Bandung!"... tuing! Jawaban saia itu membuat teman-teman dari paroki lain mengakui pepatah di atas tadi. Dan yang menjadi pertanyaan kami adalah, mengapa tahun ini banyak OMK yang duduk di kelas 3 SMA padahal tahun ini adalah tahun Orang Muda KAtholik?

PEMBINAAN PENGURUS

Tema kegiatan yang kami usung kali ini adalah "BENTANGKAN SAYAP MENUJU MASA DEPAN DIRI DAN OMK" . Ini merupakan program kerja kami yang ke-4 setelah kegiatan Valentine OMK tanggal, Lokakarya Kepemimpinan (LK), Ziarah ke Gua Maria Toho, dan Ibadat Keliling OMK. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Sabtu tanggal 21 juni 2008 sampai dengan hari minggu tanggal 22 juni 2008, bertempat di Rumah Retret Constantine (RRC), kecamatan Sungai Ambawang kabupaten Kubu Raya. Kegiatan ini merupakan pelatihan Pembinaan Khusus Pengurus Inti dan Seksi-seksi penggerak Orang Muda Katholik Paroki Stellamaris Siantan.

Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, yang di ikuti oleh 2 orang pengurus inti OMK yang terlibat dan 8 orang yang di pilih dalam beberapa seksi OMK serta 9 orang anggota OMK yang aktif, 4 fasilitator yang merupakan senior sekaligus mantan ketua OMK yang masih peduli dengan kegiatan OMK dan seorang pastor pendamping yang baru saja bergabung dengan paroki Stellamaris yakni Pr. Givan. Jadi total keseluruhan yang ikut terlibat dalam kegiatan tersebut adalah 24 orang.

Kegiatan ini di mulai dengan Doa bersama di Aula yang telah di sediakan pengelola penginapan dan dilanjutkan dengan dialog bersama sebagai suatu acara pembukaan sharing OMK. Di dialog tersebut, para peserta di ajak untuk mendalami arti OMK itu sendiri. Bukan hanya dalam sudut pandang Orang Muda Katholik saja, tapi juga untuk semua kalangan baik Depan Pastoral Paroki, Wanita Katholik, Anak-Anak Bina Iman (Sekolah Minggu), Para anggota Putra Putri Altar (Misdinar) sampai pada Lingkungan di Luar Paroki itu sendiri. Dialog kami ini begitu menggugah ketertarikan kami akan bagaimana menyikapi sejauh mana keterlibatan kami akan nasib kaum muda yang berada di wilayah Paroki Stellamaris Siantan. Kami mengadakan acara temu pendapat seperti kegiatan kali ini dengan harapan dapat membantu kami menyikapi segala persoalan yang ada di sekitar kami saat ini.

Kegiatan ini merupakan salah satu eksistensi kami dalam membangun sistem kerja OMK yang kian terstruktur. Ini juga merupakan wadah supaya OMK menjadi salah satu media Orang Muda untuk berkarya dalam jasa supaya bagaimana nantinya berguna bagi sesama dan menjadi salah satu penggerak Organisasi yang terorganisir dan jelas keberadaannya di tengah-tengah masyarakat gereja. Kami membangun komitmen tersebut bersama-sama walaupun dengan latar belakang yang berbeda satu dengan yang lain.

Dialog berlanjut pada pengembangan diri para peserta kegiatan pembinaan pengurus. Para peserta di ajak mengenal diri sendiri dan individu lain disekitarnya. Dalam dialog ini juga di adakan sharing kelompok sekitar 15 menit dan dipresentasikan setelah makan malam di mulai. Setelah memasuki jam 15.00 sore, para peserta di ajak oleh fasilitator untuk kegiatan Outbound (kegiatan luar ruangan). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan rasa saling percaya antar pengurus dalam menjalankan tugasnya masing-masing dan bagaimana cara bertanggung jawab dan bersikap bijaksana dalam memutuskan suatu persoalan. Outbound dilaksanakan tidak jauh dari tempat penginapan dan dibagi dalam 3 pos. Pos pertama bersifat uji Imajinasi dengan ketabahan (mengisi air dengan cara berkelompok dalam pipa yang bocor), pos kedua bersifat membentuk Kepercayaan pada Rekan Kerja (Menjatuhkan diri dari atas balkon aula dan disambut kelompoknya), dan pos ketiga sarat dengan kekompakan tim (menaiki tembok 3 meter dengan bantuan masing-masing kelompok)

Setelah kegiatan outbound selesai, kami diminta untuk membersihkan diri (mandi) serta melakukan kegiatan pribadi sebelum melakukan makan malam bersama. Setelah tepat jam 18.30 wib, kami mengadakan makan malam bersama di ruang makan. tapi sebelum menyantap hidangan di mulai, kami beroa bersama dan di pimpin langsung oleh Pastor Givan selaku pembimbing kami. Selama makan malam bersama di lakukan, kami diwajibkan untuk "silentium" artinya makan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Setelah makan malam selesai, kami memulai presentasi dialog kami tadi siang sesuai dengan apa yang kami ingin angkat dalam keterlibatan kami sebagai pengurus OMK. Dalam dialog, kami juga di ajak untuk tanya jawab berkelompok. Dan setelah puncak dalam kegiatan berdialog mengalami langkah yang memuaskan dan dapat di ambil kesimpulannya. Ini merupakan komitmen bersama bahwa kegiatan yang hanya berlangsung 2 hari dapat menghasilkan perubahan besar untuk para pengurus OMK agar tetap menjaga kualitas dan tanggung jawab.

Setelah acara dialog menemukan titik terang dan kesimpulan yang bermakna bagi perkembangan kegiatan Orang Muda Katholik nantinya. maka kami melanjutkan acara tersebut dengan renungan sesaat sekitar 30 menit dan dilanjutkan dengan malam keakraban sekaligus acara selamat datang sebagai penyambutan pastor Givan selaku pembimbing harian kami yang baru. Kami hanya berharap, kegiatan pengembangan diri para OMK tidak hanya berakhir sampai disini saja, tetapi terus menjadi penggerak serta penyaring kegiatan OMK yang menuju hal positif. Berikut ini merupakan daftar nama Panitia Persiapan Kegiatan Pembinaan Pengurus dan Retret:

Ketua : Andy BF
Sekretaris : Andri
Bendahara : Vincent
Dokumentasi : Epenk, Angga
Perlengkapan: Gilbert, Novi
Pendataan : Amandus
Kontribusi Peserta : Rp10.000/orang

SISTEM RELIGI ORANG DAYAK

Oleh. Paulus FS

Didalam kehidupan sosial, dan kesehariannya tidak mungkin mencampur adukkan penerapan antara agama baru dan sistem religi (agama lama), yang merupakan salah satu bagian dari adat istiadat serta budaya adat leluhur, meski dipaksakan dengan cara dan sekeras apapun tetap tidak akan pernah selaras.
Letak persoalannya adalah, karena keduanya sama-sama kepercayaan yang didasari oleh keyakinan, dengan pemahaman yang berbeda, jika dipaksakan untuk digabungkan, sudah barang tentu akan terjadi benturan-benturan pemahaman, yang satu dipaksakan untuk memahami yang lainnya.

Yang benar adalah, masing-masing kepercayaan tidak saling mengintervensi, dan membiarkan masing-masing kepercayaan berproses secara alami.
Agama baru menjalankan proses sesuai dengan keyakinan kepercayaannya, demikian pula dengan budaya adat (agama lama) tanpa harus membanding-bandingkan kebenaran yang dimiliki, serta memaksakan kepercayaan lain untuk memahami kepercayaan yang dianut olehnya. Yang mungkin bisa dilakukan diantara masing-masing kepercayaan, agar tidak menimbulkan berbagai bentuk benturan adalah dengan mengetengahkan kata “toleransi”.
Andaipun suatu masa segala sistem religi lama, akan hilang dengan pergulatan ruang dan waktu, tidak ada lagi yang melaksanakannya, biarkanlah proses seleksi alam yang terjadi, bukan perubahan yang dilakukan secara radikal, revolusi dan sebagainya yang bersifat memaksa untuk meninggalkannya.
Didalam menjalankan kepercayaan dan keyakinan, tidak bisa melakukan pengkooftasian antara satu sama lainnya, dia mesti berjalan sesuai dengan pemahaman masing-masing sesuai dengan kepercayaan yang diyakini oleh kelompok penganutnya itu sendiri.

TATARAN PEMAHAMAN

KEPERCAYAAN LELUHUR
Jauh sebelum agama ada, leluhur orang Dayak memang sudah memiliki tata cara/religi yang mengatur hubungannya dengan maha penciftanya.
Tidak benar jika para leluhur orang Dayak jaman dulu di katakan “Animisme”, terbukti bahwa ketaatan dan kepercayaan leluhur orang Dayak sangat kuat dalam memelihara hubungan dengan Sang Pencifta yang disebut “Jubata”.
Disetiap kehidupan para leluhur orang Dayak jaman dulu, tidak pernah melepaskan diri dari campur tangan “Jubatanya” lewat berbagai bentuk ritual yang biasa mereka lakukan, memohon pertolongan “Jubata” saat membutuhkan sesuatu, mengucapkan syukur dan terima kasih kepada “Jubata” jika apa yang diminta dapat diperoleh tanpa melihat besar ataupun kecil sesuatu yang diterima.
Dengan melihat pola pada setiap pelaksanaan ritual dalam sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak, jelas bahwa moyang orang Dayak telah lebih dulu mengenal apa yang disebut dunia sekarang sebagai “Agama”.
Agama mengatur sistem moral dan norma-norma hidup para penganutnya yang memedomankan kearifan dan ke-Esa-an Maha Pencifta sesuai dengan ajaran masing-masing agama tersebut, demikian pula dengan sistem religi yang dilaksanakan oleh leluhur orang Dayak, yang membedakannya secara tajam antara setiap kepercayaan adalah, hari-hari besar, alat komunikasi (bahasa, alat peraga dll), perbedaan lainnya dari yang disebut dunia sebagai “agama” sekarang dengan sistem religi leluhur orang Dayak, yang disebut sebagai “Agama” sekarang, organisasional dan struktural sifatnya, sedangkan sistem religi leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi struktural”, yang ada didalamnya momentum prosesi, pelaksana prosesi dan penyelenggara prosesi.
Meski dalam penerapan kesehariannya, sistem religi para leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi”, tidak semudah itu untuk mengatakan leluhur orang Dayak sebagai “animisme”, seperti yang disebutkan diatas, bahwa leluhur orang Dayak memiliki sistem religi yang mengatur hubungan dengan maha penciftanya yang disebut “Jubata”, dalam bentuk ritual-ritual. Hanya saja tidak tersistematis dalam bentuk kalender tetap seperti agama-agama yang diakui oleh manusia didunia, leluhur orang Dayak melakukan ritual pada setiap moment-moment dalam keseharian hidup komunitasnya, contoh :
1. Ritual yang menyangkut hidup manusia, mulai dari dalam kandungan hingga meninggalnya
2. Ritual yang berhubungan dengan pekerjaan, berladang dan sebagainya, mulai dari mencari tempat dimana yang akan dijadikan lahan pekerjaan hingga melakukan syukuran terhadap hasil yang diperoleh.
3. Ritual perlindungan, pembentengan terhadap komunitas akan ancaman-ancaman (musuh, penyakit sampar dll), ritual dilakukan dari awal hingga keadaan sudah dinyatakan bebas dari ancaman tersebut, ritual seperti ini bisa dalam bentuk berpantang dan lain-lain sesuai dengan keadaan yang dirasakan atau berdasarkan tanda-tanda alam yang didapatkan.
4. Serta banyak lagi momentum-momentum ritual lainnya.
Ketetapan hari-hari besar boleh dikatakan tidak ada, semua didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan didalam komunitas-komunitas itu sendiri.
Yang menunjukan bahwa ritual yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak lebih menhormati penciftanya “Jubata”, ini ditandai pada salah satu perilaku “persembahan”, makanan yang akan digunakan sebagai persembahan, jika belum didoakan (Matik=doa singkat), belum boleh dimakan, demikian pula dengan menentukan tempat pekerjaan/ladang, setelah melakukan ritual untuk meminta restu “Jubata” dan tanda-tanda alam memperingatkan tidak boleh, maka kebiasaan leluhur orang Dayak akan mencoba meminta ditempat lain dengan cara yang sama.
Yang mau dipahami dari sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak adalah, bahwa sesungguhnya mereka telah lebih dulu memiliki cara-cara arif memelihara hubungan dengan pencifta alam semesta isinya, artinya, mereka bukan “animisme”, jelas bahwa letak persoalannya ada pada tataran pengakuan pemerintah, dan perlu dicatat bahwa Tuhan tidak membutuhkan pengakuan, yang dibutuhkan Tuhan adalah kepercayaan, dan penyebaran kepercayaan dalam bentuk organisasi-organisasi “Agama” yang diakui pemerintah, sesungguhnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan modernisasi kepercayaan dan revolusi budaya.

MUNGKINKAH DILAKUKAN INCULTURASI
Didalam ajaran kristen itu sendiri sesungguhnya sudah dilakukan inculturasi, inculturasi yang terjadi antara ajaran yang disebut perjanjian baru (sesudah Yesus lahir) dengan kepercayaan leluhur bangsa Yahudi (sebelum Yesus lahir).
Ajaran-ajaran agama, biasanya akan didominasi oleh budaya-budaya dimana agama tersebut berasal, itulah inculturasi yang pertama dilakukan.
Dewasa ini, ada upaya dari kalangan agama mencoba melakukan semacam inculturasi, bahkan sudah masuk pada tataran proses ritual, seperti tatacara “Nyangahatn” digereja dalam upacara tertentu. Apapun sesungguhnya akan baik sepanjang tidak ada yang mempertentangkannya, namun akan lain apabila kedua sisi yang akan dilakukan penyatuan (inculturasi), dan masing-masing sisi saling bertahan untuk menunjukan eksistensinya.
Kepercayaan leluhur orang Dayak dan agama-agama yang ada seperti sekarang ini, mempunyai tujuan yang sama, namun menggunakan cara dan alat komunikasi (bahasa dan alat peraga) yang berbeda-beda.
Artinya, inculturasi secara utuh tidak mungkin bisa dilaksanakan, karena ada hal-hal tertentu yang dimiliki oleh salah satu kepercayaan yang tidak akan bisa dimengerti oleh kepercayaan lain, seperti halnya “ngobet”, dalam ritual adat Dayak, ada bagian-bagiannya, yang akan sangat sulit dipahami adalah “kobet kamoh”, sementara dalam prosesi ritual adat orang Dayak, seluruh alat peraga yang biasa diadakan haruslah secara lengkap. Pertanyaannya adalah, bisakah kepercayaan lain (agama baru) menerima secara utuh seluruh alat peraga yang digunakan pada ritual adat orang Dayak untuk digunakan dalam gereja atau lainnya ?. Jawabannya tidak sesimple menjawab “ya dan tidak” letak permasalahannya ada pada tataran pemahaman, tentu kepercayaan diluar kepercayaan leluhur orang Dayak akan memahaminya lain, sedangkan bagi orang Dayak, setiap bagiannya mengandung arti penting, dan jika salah satu dihilangkan, mungkin bisa fatal akibatnya atau sederhananya, apa yang dilakukan akan sia-sia.

Yang sering terdengar dari ucapan kelompok kepercayaan lain diluar kepercayaan leluhur orang Dayak, ketika menyaksikan prosesi ritual adat orang Dayak, ada yang mengatakan menyembah berhala, memberi makan setan, menyembah pohon, menyembah batu, menyembah gunung dan lainnya.
Sebagai orang Dayak, secara pribady saya tidak bisa menepis ungkapan yang demikian, karena saya sendiri tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengerti kepercayaan dan keyakinan yang saya miliki, rancanganmu bukanlah rancanganku, karena kebenaran dalam suatu kepercayaan tidak dipahami dengan sesuatu yang berbentuk, kebenaran itu relatif sifatnya, dianya terletak pada keyakinan masing-masing penganutnya. Setiap pengikut penganut kepercayaan mempunyai hak masing-masing untuk mengatakan ajaran kepercayaannya benar, tetapi tidak berhak untuk menghakimi bahwa kepercayaan lain salah.

PEMAHAMAN KOBET
Sebelum jauh masuk dalam kepercayaan adat leluhur orang Dayak secara luas, mungkin baik terlebih dahulu diuraikan tentang makna “kobet”, karena ini salah satu bagian yang selalu mengandung resistensi tinggi bagi yang tidak mengerti makna sesungguhnya.
“Kobet” atau juga sering disebut “ongko’” dalam proses ritual adat leluhur orang Dayak, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, lain tujuan ritualnya, berbeda pula jumlah dan jenis “kobet” disediakan.
Pemberian “kobet”, sama artinya melakukan pembentengan, sebelum masuk jauh pada proses ritual, sehingga ketika ritual berjalan segala sesuatu (arwah-arwah gentayangan, setan, iblis dll) yang sudah diberi “kobet” tidak lagi mengganggu proses ritual tersebut, meski dalam proses ritual tersebut untuk mengusir roh-roh jahat, mereka tidak diusir dalam bentuk yang radikal, pengusiran dalam bentuk hormat, atau mereka yang sudah diberi “kobet” diminta bantuannya untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya untuk tidak mengganggu.
Para leluhur orang Dayak, memahami bahwa seluruh yang ada dimuka bumi ini baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan adalah bagian dari ciftaan tuhan (Jubata), saling menghormati dan mengasihi sesama ciftaanNya, menjadi suatu kewajiban tanpa terkecuali. Memberikan “kobet”, sama dengan menyapa mereka yang tidak dapat dilihat, dan harus ada sesuatu yang dipersembahkan.
Analoghynya, para pedagang kaki lima saja bisa marah jika dilakukan penggusuran, meski mereka sesungguhnya sadar bahwa mereka membuka tempat usaha atau tinggal bukan pada hak miliknya, dan bahkan mereka mungkin sadar, kegiatannya mengganggu orang lain. Namun ketika digusur, tidak jarang mereka bertindak anarkhis, tapi, beda soal jika sebelum penggusuran, komunikasi terlebih dahulu dibangun, mungkin ada yang dengan suka rela melakukan pembongkaran sendiri tanpa harus main paksa, dan kepada mereka diberikan sedikit bekal untuk sekedar menghargai.
Nah, demikianlah sesungguhnya pemahaman para leluhur orang Dayak ketika memberikan “kobet” dalam melakukan proses ritual, sehingga roh-roh yang biasanya mengganggu tidak lagi mengganggu. Mentang-mentang merasa benar lalu mau bertindak semaunya terhadap orang yang salah, itu namanya egosentris, leluhur orang Dayak memberikan cerminan lewat proses ritual adat kepada seluruh keturunannya untuk tidak egosentrisme, pada hakikatnya, cinta kasih ditujukan tidak sebatas pada orang-orang yang mengasihi kita, orang-orang terdekat kita, tapi juga bagaimana mengasihi musuh sekalipun, dan hal seperti ini dipahami sebagai keseimbangan hidup.

Kembali pada kepercayaan leluhur orang Dayak secara umum, seperti telah dipaparkan diatas, bahwa jauh sebelum agama-agama baru masuk dan berkembang dikalangan orang Dayak, para leluhur orang Dayak sudah mempunyai kepercayaan yang mengatur keseimbangan hubungan, baik dengan Sang Pencifta serta alam ciftaan beserta isinya.
Didalam agama-agama baru, juga mengajarkan hal yang demikian, sekali lagi, hanya cara dan alat komunikasi yang digunakan yang berbeda. Lain bahasa tentu lain nama dalam penyebutannya, ada yang menyebut Dewa, Allah, Tuhan, Jubata dan lain sebagainya.
Agama baru lebih dipengaruhi oleh budaya dimana mereka berasal, itu sudah pasti dan tidak dapat disangkal lagi.
Sesujujurnya, Tuhan tidak mempunyai agama, Tuhan menciftakan alam beserta isinya, dan yang dibutuhkan oleh Tuhan kepada umat manusia adalah keyakinan dan kepercayaan, mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya, bahwa Dialah (Tuhan) sumber segala-galanya, terserah dengan apapun cara yang kita pakai sebagai umatNya. Agama hanyalah sebuah organisasi dan cara, sedangkan yang mendekatkan setiap umat manusia dengan Maha Penciftanya adalah iman dan keyakinannya.
Akan lain lagi situasinya, jika Yesus, Muhammad, Sang Budha dan lainnya, lahir di Kalimantan, mungkin semua yang disebut oleh dunia sebagai agama sekarang, saya berkeyakinan, segala perilaku budaya Kalimantan (khususnya budaya Dayak) akan lebih dominan didalamnya.

TEMPAT RITUAL LELUHUR ORANG DAYAK
Tata cara dan tempat dimana para leluhur orang Dayak melakukan ritual, sangat kontekstual sifatnya, hal ini sebenarnya lebih terkait dengan kondisi jaman, seperti melakukan ritual di gunung, pohon-pohon besar, batu-batu besar dan lain-lain, yang dipahami sebagai ciftaan “Jubata” yang indah, yang besar, yang tinggi, yang kuat dan sebagainya.
Ada pepatah mengatakan “jika kita berteduh dibawah sebatang pohon yang rindang dan disitu kita menemukan kesejukan, maka ingatlah kepada orang yang menanam pohon tersebut”.
Didalam ajaran agama baru sekarang, selalu juga mengatakan bahwa “Tuhan ada dimana-mana”, pemahaman-pemahaman seperti inilah sesungguhnya yang menjadi dasar bagi para leluhur orang Dayak untuk memilih tempat-tempat yang dianggab terindah dan terbaik untuk melakukan penyembahan kepada “Jubatanya”.
Pohon-pohon besar dijadikan sebagai simbol kesuburan, batu-batu besar dijadikan sebagai simbol kekuatan, sedangkan gunung-gunung yang tinggi dijadikan sebagai simbol kemegahan, kebesaran dan keagungan “Jubata”. Jika ada yang mengatakan leluhur orang Dayak sebagai penyembah pohon, batu, gunung dan lainnya, itu semata-mata karena ketidak pahaman orang tersebut.
Alasan lain, terkait dengan jaman, dijaman kehidupan para leluhur orang Dayak, jangankan mau mendirikan gedung-gedung megah seperti Masjid, Gereja, Klenteng dan sebagainya, untuk mendirikan rumah tempat mereka tinggal saja sangat penuh dengan kesederhanaan, pakaian dari kulit kayu, lain soal kalau saat itu leluhur orang Dayak sudah mengenal tekhnolgi modern seperti sekarang ini.

ZIARAH GUA MARIA SAMPAI PANTAI SAMUDERA

kegiatan kali ini di adakan pada pertengahan bulan maria, tepatnya diselenggarakan pada tanggal 18 Mei 2008 oleh para OMK Stellamaris Siantan. Ziarah ke Gua Maria Toho kali ini di ikuti 28 orang. Rute yang kami tempuh, dimulai dari tempat pemberangkatan yaitu lingkungan paroki Stellamaris Siantan, setelah itu bergerak menuju ke tempat ziarah Stellamaris siantan bersama-sama dengan rombongan gereja (anak-anak SEKAMI, utusan serdadu WK dan Anggota Dewan Pastoral Paroki) yang ikut dalam kebersamaan itu. Pastor Sonny Wengkang,Msc selaku pastor paroki secara langsung memimpin misa di tempat ziarah tersebut. Rombongan kami tiba disana sekitar jam 10.00 wib.

Beberapa dari kami terlihat semangat dengan kedatangan di tempat ziarah tersebut . Cuaca yang panas serta terik matahari yang menyengat tidak menyurutkan hasrat kami untuk tetap hening dan khusyuk memanjatkan berbagai macam doa yang ingin kami sampaikan kepada Bunda Maria. Sesekali kami berteduh dibawah rimbunan pohon bambu yang di tanam di sekitar tempat ziarah. Angin terasa membuai raga kami, hal itu juga yang membuat hati kami tentram dalam doa dan harapan ketika berada di sana.

Setelah beberapa saat berselang, misa pun akhirnya berakhir dan kami secara bergantian memanjatkan doa masing-masing ke depan patung Bunda Maria, itulah wujud kerinduan kami akan kasih Tuhan. Kami menyempatkan diri pula untuk meletakkan bunga sebagai ucapan terimakasih kami dan tidak lupa juga membakar lilin yang telah disediakan di tempat ziarah tersebut. Keadaan hening begitu terasa disana, hanya bunyi desiran angin yang menghembus daun-daun, bunyi kicauan burung serta bunyi percikkan air gunung di sekitar tempat ziarah. Hal tersebut menambah ketentraman hati kami.

Setelah melepas kerinduan kami akan Tuhan, kami berencana untuk melanjutkan kegiatan kami yang selanjutnya yaitu rekreasi ke Pantai Samudera yang terletak di Kabupaten Singkawang. Mobil Dalmas Militer yang kami tumpangi perlahan-lahan meninggalkan tempat ziarah tadi. Tepat pukul 11.30 wib kami meninggalkan tempat ziarah dan dengan harapan kami tidak kesorean tiba di tempat rekreasi. Sebab jarak tempuh dari tempat ziarah ke tempat rekreasi kurang lebih sekitar 3 jam perjalanan. Lumayan menguras waktu.

Kami tiba di tempat rekreasi Pantai Samudera sekitar jam 14.30 wib. Tidak menunggu aba-aba, kami masing-masing berlari-lari kecil menuju bebatuan yang ada disekitar tempat rekreasi untuk melepas lelah setelah menempuh perjalanan yang lumayan menguras waktu tersebut. Banyak pula tingkah laku kami yang kami ekspresikan di tempat itu. Ada yang langsung menyewa pelampung dan berenang di sekitar pantai, ada yang hanya berdiam diri menatap ombak, ada yang makan bekal yang di bawa dari rumah, ada yang bercengkrama, ada yang berbaring di bebatuan melepas lelah, dan banyak pula yang berpose karena beberapa orang diantaranya memegang kamera digital sebagai alat dokumentasi. Ini beberapa file yang kami publikasikan tentang kegiatan yang hanya berlangsung satu hari penuh. tapi yang pasti ziarah yang kami selenggarakan seadanya ini menuai sukses. Inilah bukti eksistensi kami terhadap perkembangan Orang Muda Katholik sekarang. Ada yang mau bergabung? Silakan hubungi kami..